Kamis 12 Apr 2012 11:37 WIB

Mengajarkan Anak Berbagi, Inilah Rumusnya

Rep: c07/ Red: Heri Ruslan
Anak Muslim Sri Lanka bermain ketika orang tua mereka sholat Idul Fitri di Kolombo, Sri Lanka.
Foto: AP/Eranga Jayawardena
Anak Muslim Sri Lanka bermain ketika orang tua mereka sholat Idul Fitri di Kolombo, Sri Lanka.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nina Chairani

Berbagi termasuk kata yang mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Begitu keluhan sebagian orang tua. Kakak enggan berbagi mainan dengan si adik. Adik tak mau membagi makanannya untuk sang kakak.

"Kalaupun mereka akhirnya mau, harus dengan paksaan pihak ketiga,” kata Sulistyani Priyanto (42 tahun) tentang anak-anaknya. Ibu dua anak yang masih duduk di bangku SD ini khawatir buah hatinya bakal tumbuh menjadi anak egois. Ya, berbagi terhadap sesama manusia menjadi kunci pengendalian egoisme yang telah merasuk dalam tatanan kehidupan manusia sekarang ini.

Berbagi merupakan sebuah hal kecil yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Sayangnya, masih ada di antara kita yang belum peduli terhadap perbuatan ini. Padahal, kebiasaan berbagi dapat menjadi awal kepekaan kita terhadap sesama. Hal ini seharusnya ditanamkan oleh orang tua kepada anak sejak dini.

Bahkan, Dra Rustika Thamrin Psi, psikolog yang telah mendalami masalah pengasuhan  selama 14 tahun, menyatakan seharusnya orang tua, terlebih ibu, sudah mengajarkan anaknya untuk berbagi sejak dalam kandungan. Sebab, saat ibu mengandung terdapat spektrum energi yang begitu kuat yang menghubungkan keduanya sehingga si janin mengerti setiap kegiatan baik yang dilakukan ibunya. Ajaklah anak kita berkomunikasi saat masih dalam kandungan dan ajarkan untuk berbagi. Dengan begitu, si anak akan terbiasa melakukan perbuatan baik saat lahir ke dunia,” terang psikolog lulusan Universitas Indonesia dalam inspirative talkshow Tango di Jakarta belum lama ini.

Prinsip berbagi

Sementara itu, pembicara lain, Non Rawung, menjelaskan prinsip berbagi. Menurut dia, berbagi adalah memberikan apa yang kita sukai. Apa yang berguna untuk diri kita, juga harus dirasakan oleh orang lain. Berbagi bukanlah memberikan yang sisa, melainkan memberikan yang terbaik yang kita punya,” ujar wanita asli Gorontalo ini.

Selain itu, nenek berusia 63 tahun ini pun menyatakan bahwa ada dua hal yang harus ditanamkan dalam diri setiap manusia. Pertama, menolong orang lain merupakan sebuah kesenangan. Dan kedua, menolong orang lain merupakan sebuah kehormatan, bukan beban. Dengan menanamkan dua hal tersebut, kita akan terbiasa untuk berbagi dengan orang lain. Untuk saya, berbagi dengan orang lain sudah menjadi kebutuhan dan harus selalu dilakukan,” terangnya.

Melakukan sebuah kebiasaan baik seperti berbagi tentu bukanlah perbuatan mudah. Akan banyak kendala yang menghalanginya. Orang tua harus memiliki cara jitu untuk menanamkan kebiasaan ini.

Rumus membiasakan

Ada rumus yang bisa menjadi bekal bagi para orang tua, khususnya ibu, untuk membentuk kebiasaan berbagi tersebut, yaitu niat untuk memulai dan konsistensi (habit of giving = determination start + consistency). Rumus ini diungkapkan Rustika Thamrin dalam acara yang berlangsung di Jakarta ini.

Tika, sapaan akrabnya, untuk merealisasikan kebiasaan berbagi diperlukan niat untuk memulai dan konsistensi. Tanpa keduanya, kebiasaan tersebut tidak akan pernah terwujud.

Lilis Suryani (45) adalah ibu dua anak yang telah menerapkan prinsip berbagi sejak dini kepada anak-anaknya. Saya memulai kebiasaan ini dari rumah. Saya dan suami berusaha menjadi contoh bagi mereka untuk saling berbagi terhadap sesama. Dengan begitu, mereka termotivasi untuk selalu berbuat baik kepada orang yang kurang mampu,” ungkap Lilis.

Menurut Tika, apa yang telah dilakukan Lilis merupakan hal yang tepat. Saat ini mencari orang tua yang dapat dijadikan contoh seperti itu tidaklah mudah. Terkadang orang tua hanya bisa mendoktrin anaknya untuk berbuat ini dan itu, tapi dia sendiri tidak melakukannya,” ungkap Tika.

Memperkuat tekad

Kurangnya contoh baik dari orang tua tidak menjadi satu-satunya kendala dalam menanamkan niat untuk memulai berbagi. Kendala lainnya adalah seseorang tidak akan terbiasa untuk keluar dari zona nyamannya. Selain itu, adanya hambatan keyakinan dan kesulitan bagi orang-orang yang terlibat, perasaan takut gagal, serta akan merasa citra dirinya terganggu pun menjadi kendala tersendiri. Kendala-kendala ini akan muncul di awal seseorang akan memulai kebiasaan berbagi tersebut. Bila tidak diatasi, bisa jadi orang tersebut akan mundur, dan berbagi ini tidak akan terwujud.

Untuk mengatasi kendala tersebut sebenarnya ada pada diri kita sendiri, yaitu niat yang tulus dan kuat untuk memulai (determination to start). Dengan tekad dalam diri, segala kendala akan teratasi,” jelas Tika.

Memiliki niat untuk berbagi saja tidak cukup, harus ada konsistensi yang mengiringinya. Konsistensi ini yang akan menentukan apakah berbagi dapat menjadi sebuah kebiasaan atau sekadar wacana. Sebuah konsistensi dipengaruhi besar oleh motivasi yang kuat. Motivasi yang kuat bukanlah berasal dari orang lain, melainkan berasal dari diri sendiri.

Untuk menyuburkan konsistensi berbagi, harus dimulai dari hal kecil dan mudah, serta melakukannya teratur setiap hari. Dengan begitu, kebiasaan berbagi akan menjadi sebuah kebutuhan dalam diri kita. Jika tidak melakukannya sehari saja, akan merasa kurang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement