REPUBLIKA.CO.ID, Demam telepon genggam tidak hanya di Indonesia saja. Di Belanda juga demikian, bahkan sampai ke anak-anak. Di negeri kincir angin ini, anak-anak bahkan tidak bisa melepaskan diri dari alat komunikasi modern itu, demikian harian Trouw.
Penelitian dari yayasan Mijn Kind Online yang digelar untuk 2600 anak muda usia 8 hingga 18 tahun menyimpulkan, separuh dari pengguna telpon genggam tak bisa tanpa alat tersebut. Tiga perempatnya malah mengaku kecanduan. Mereka membawa-bawanya bahkan sampai ke ruang kelas, toilet, kamar mandi dan tempat tidur.
Keterlaluan? Tidak, kata Remco Pijpers, dari Mijn Kind Online. Para remaja itu tidak memperlihatkan gejala kecanduan jika mereka tak memakai telepon genggam. "Mereka tak memperlihatkan tanda-tanda seperti gemetar, atau semacamnya."
Sementara itu kaum muda Belanda juga tak ambil pusing dengan tuduhan kecanduan semacam itu. Seorang anak berusia sembilan tahun mengatakan yang melihat itu sebagai masalah hanyalah orang tua yang masih menggunakan telepon kuno dengan kabel.
Kendati demikian, Pijpers mengatakan jika seorang remaja terus menerus tanpa henti memainkan telepon genggamnya maka harus diambil tindakan.
Harus ada peraturan untuk generasi muda, termasuk di dalamnya penggunaan telpon genggam. Orang tua harus memutuskan peraturan tersebut. Misalnya tak boleh memegang telepon genggam jika sedang makan.
Kaum muda tak bisa dipisahkan dengan telepon. Seperempat anak-anak berusia delapan tahun punya telepon genggam.
Janine Zuidhof, seorang remaja berusia 14 tahun, mengaku dirinya kecanduan telepon genggam. Jika sedang membuat pekerjaan rumah maka teleponnya itu harus dimatikan, atau diambil oleh ibunya. "Pernah tiga hari saya dihukum. Tidak boleh pakai telpon genggam. Itu tentu saja menjengkelkan."
Akhirnya ia menemukan hobi baru. Kalau tidak menggunakan telpon genggam Janine dapat menggambar, bermain di luar dan mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak lagi.
Ada sisi positif yang bisa diambil. Dengan telepon genggam bukan berarti anak-anak itu tidak bertemu lagi dalam dunia nyata. Mereka tetap bertemu, hanya saja sebagai remaja mereka membutuhkan waktu lebih banyak dengan teman-teman sebayanya untuk menemukan jati diri mereka, demikian Trouw.