REPUBLIKA.CO.ID,Bila Anda ke Tokyo tak mampir ke Disneyland, maka percuma saja buang-buang waktu dan uang --kata orang. Tapi lain kata seniman-- bila Anda ke Tokyo tak nonton Kabuki, maka percuma saja datang jauh-jauh. Disneyland, tontonan yang serba unik, dengan rekayasa teknologi canggih. Sedang Kabuki, sebuah drama tari tradisional Jepang yang unik, yang terus bertahan sampai sekarang. Keduanya, memang menarik untuk dilihat.
Seperti diketahui, Jepang termasuk negara yang mampu mempertahankan nilai-nilai budaya tradisionalnya. Beberapa seni tradisional Jepang, seperti tari-tarian, teaer, musik sampai beladiri tetap terpelihara. Karate yang begitu akrab dengan kita, misalnya, sebenarnya salah satu seni beladiri Jepang tradisional.
Di Jepang, antara seni tradisional dan seni kontemporer (yang datang dari Barat), berjalan seiring. Dua-duanya mendapat perhatian masyarakat. Pemerintah Jepang pun sangat memperhatikan perkembangan seni tradisional. Gedung-gedung kesenian yang cukup besar banyak didirikan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, untuk mendorong perkembangan dan kelestarian seni tradisional. Sebagai gambaran, betapa pemerintah memperhatikan kesenian, terlihat misalnya di Hiroshima. Kota yang berpenduduk 2 juta jiwa ini, punya empat gedung teater yangn cukup merah.
Kabuki
Salah satu seni tradisional Jepang yang sangat terkenal adalah Kabuki, yaitu drama tari yang aneh dan inkovensional. Kata Kabuki berasal dari Kabuku, yang artinya aneh dan tak biasa. Dalam karekter huruf Cina (asal usul karakter huruf Jepang), Kabuki berarti Ka (tembang), Bu (tari) dan Ki (permainan). Sampai saat ini, Kabuki hanya dimainkan pria, hal itu bermula dari pelarangan kaisar terhadap wanita untuk tampil di panggung. Dan Kabuki hingga sekarang masih setia dengan pelarangan itu, meski larangan tersebut telah dicabut.
Seperti diketahui, pada tahun 1629 raja mengharamkan wanita tampil di panggung. Larangan tersebut berlangsung dua abad lebih. Baru pada tahun 1891, ketika pengaruh Barat sudah masuk Jepang, aktris drama Jepang bisa tampil lagi. Namun Kabuki tetap bertahan tanpa pemain wanita, sebab tarian Kabiki dirasa terlalu berat untuk wanita.
Tak seperti seni drama lain, Kabuki menuntut kemampuan tinggi pada pemainnya. Semua pemain Kabuki harus hanya kemampuan tari, sekaligus fisik. Sebab dalam adegan-adegannya, di samping penuh tarian lembut, juga terdapat tarian-tarian aneh --seperti salto, berjalan dengan kepala di bawah dan lainnya-- yang menuntut kekuatan fisik. Boleh dikatakan, Kabuki merupakan teater aktor yang atraktif.
Banyak penonton asing tertarik pada Kabuki, justru pada permainan ''perempuannya'' yang sangat gemulai, yang disebut ''onnagata'' --meski dimainkan pria. Salah seorang onna-gata Kabuki yang terkenal adalah bando Tamasaburo. Umumnya pemain Kabuki turun temurun. Anak-anak aktor sejak kecil telah dididik keras dengan latihan-latihan berat untuk menjadi aktor Kabuki.
Permainan Kabuki dan panggungnya sangat fleksibel dan variatif. Kebebasan gerak pemainnya, mungkin hampir sama dengan tarling, kesenian Cirebon. Pemain bisa saja muncul dari arena penonton dan jalan-jalan di tengah penonton sambil berdialog dengan mereka. Pada Kabuki, memang disediakan tempat di kiri belakang penonton untuk sebagian pemainnya. Di samping itu, panggung pun harus dibuat sedemikian rupa, karena dalam beberapa adegan, pemain Kabuki harus ''lenyap'' ke dalam bumi, atau naik gunung, memanjat pohon, tebing dan ''menghilang'' entah ke mana. Tentu saja, untuk mendukung penampilannya, semuanya diiringi saund effec dan permainan tata warna cahaya elektronis yang canggih (sesuai kemajuan teknologi Jepang).
Sejarah Kabuki
Drama tari ini mulanya berasal dari pertunjukan kesenian di kuil Shinto Izumo, Kyoto. Pemain pertama dan sekaligus penggagasnya adalah Okuni, yang hidup pada zaman Edo, awal abad 17. Drama tari yang dimainkan Okuni saat ini dianggap aneh karena tak mematuhi ''pakem'' yang ada. Namun demikian lama-lama masyarakat menyukainya, dan Kabuki kian populer, bahkan sampai sekarang di antara seni-seni panggung tradisional Jepang, seperti Nah, Buyo dan Bunraku, Kabikilah yang paling terkenal.
Dalam perjalanannya yang cukup panjang, Kabuki telah diperkaya dengan pelbagai stage. Di antaranya, permainan onna, yaitu ''perempuan'' yang menari dengan sangat provokatif (lihat onna-gata di atas), wakashu (pemuda yang menjelma menjadi wanita) dan yaro (lelaki setengah baya yang menari dengan sangat artistik).
Pada akhir abad 17, sastrawan Jepang banyak menyusun naskah cerita Kabuki. Pada masa itu, Kabuki mencapai zaman keemasannya. Banyak dramawan Kabuki besar muncul pada periode itu. Di antaranya yang terkenal, Sakata Tojuro dan Yoshizawa Ayame dari Kyoto. Sedangkan penulis naskah Kabuki yang terkenal adalah Chikamatsu Monzaemon Tsuruyu Nanboku dan Kawatake Mokuami.
Tema-tema cerita
Tema-tema cerita yang dimainkan Kabuki terutama adalah kisah kehidupan istana raja peperangan dan konflik-konflik psikologis pada manusia yang mencari identitasnya. Kehidupan istana di zaman Heian (794-1185), misalnya, banyak sekali dijadikan tema-tema cerita Kabuki. Di antaranya yang terkenal adalah cerita Sagawara Denju Tenarai Kagami (Rahasia Kaligrafi Sagawara) dan Imoseyama Onna Teikin (Keteladanan Wanita Agung).
Cerita-cerita Kabuki tentang peperangan, umumnya diambil dari kisah peperangan 400 tahun antara suku Genji dan Keike dari abad 12 sampai 16. Peperangan suku terlama di Jepang ini, banyak menyimpan kisah-kisah yang terkenal di antaranya, Yoshitsune Sembon Zakura (Yoshitsune dan Seribu Pohon Cherry) dan Kumagai Jonya (Kantor Pusat Kumagai).
Kisan-kisah yang bertema konflik psikologis, umumnya terjadi pada kaum bangsawan di zaman feodal yang kalah dalam rebutan kekuasaan tema terakhir ini dalam Kabuki ''kontemporer'' banyak pula digali dari kehidupan masyarakat luas. Judul-judul yang terkenal dari tema ini di antaranya adalah Meiboku Sendai Hagi (Pohon Terkenal Sendai) dan Sannin Kichisa (Tiga Pencuri Bernama Kichisa).