REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI - Macet adalah kendala utama lalu lintas di Shanghai. Dengan bus, menembus kemacetan lalu lintas di pagi hari dari Longyang ke bandar udara utama Shanghai diperlukan waktu sejam lebih. Namun warga Shanghai yang hendak bepergian dengan pesawat udara, tampak santai-santai saja. Kok bisa?
Bukannya ikut berbaris dalam kemacetan di jalan raya, mereka justru menuju ke stasiun kereta api Longyang. Maglev, itulah andalan warga kota menjangkau bandara.
Betapa tidak, jarak 30 km ditempuh hanya dalam 8 menit saja. Bahkan pada jam-jam tertentu, 09.00-10.45 dan 15.00-16.45, jarak bisa lebih dipersingkat, karena kereta menggunakan kecepatan maksimalnya, 430 km/jam. "Hampir setara kecepatan pesawat terbang," ujar seorang pemandu wisata asal kota itu, pada Republika.co.id.
Soal teknologi MagLev - sejumlah negara mengadopsinya termasuk Jepang dan Prancis - media Jerman pernah membuat anekdot tentang ini. "Saat kita meributkan tentang aplikasi Maglev untuk transportasi massa, Cina sudah mengaplikasikannya."
MagLev adalah singkatan dari MAGnetically LEVitated trains yang diterjemahkan secara bebas sebagai kereta api yang mengambang secara magnetis. Sering juga disebut kereta api magnet.
Seperti namanya, prinsip dari kereta api ini adalah memanfaatkan gaya angkat magnetik pada relnya sehingga terangkat sedikit ke atas, kemudian gaya dorong dihasilkan oleh motor induksi. Kereta ini mampu melaju dengan kecepatan sampai 650 km/jam.
Harga tiketnya pun lumayan terjangkau. Dengan merogoh kantong 50 yuan, calon penumpang bisa membeli tiket sekali jalan atau 80 yuan untuk tiket pulang pergi. Dengan kurs satu yuan Rp 1.340, harga sungguh masuk akal ketimbang bermacet-macet menuju bandara.