REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Memiliki anak merupakan harapan hampir semua pasangan suami istri. Sayang, tak sedikit pasangan yang ogah memperhitungkan segala sesuatunya ketika berencana hamil. Akibatnya, ketika kehamilan itu datang kebanyakan pasangan tidak siap lalu berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan.
"Kehamilan merupakan episode perubahan kondisi fisik dan psikologis yang kompleks bagi seorang wanita yang pernah mengalaminya. Karena itu, perlu adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi," tegas Psikolog Rose Mini, yang akrab disapa Mbak Romi, saat berbicara dalam seminar bertajuk "Lactamil With You in You Motherhood Journey yang berlangsung di Jakarta, akhir pekan lalu.
Rose mini menuturkan, banyak tugas yang harus dilakukan ibu pada masa kehamilan. Tugas itu antara lain menerima kehamilannya, membina hubungan dengan janin, menyesuaikan perubahan fisik, menyesuaikan perubahan hubungan suami istri dan persiapan melahirkan dan menjadi orang tua. "Tak sedikit yang meremehkan tugas-tugas ini lho," kata dia.
Namun, kata Romi, hal yang juga penting adalah pengetahuan pasangan terhadap kondisi psikologis calon ibu ketika memasuki usia hamil dan paska melahirkan. Kondisi psikologis itu terbagi menjadi empat tahap, antara lain tahap trimester pertama, tahap trimester kedua, tahap trimester ketiga dan paska melahirkan. Menurutnya, pengetahuan terhadap empat tahapan psikologis tadi menjadi modal kuat untuk merencanakan kehamilan.
Romi menjelaskan pada tahapan trimester pertama, seorang calon ibu bisanya mengalami kecemasan dimana kebahagiaan bercampur aduk dengan keraguan. Karena itu terjadi fluktuasi emosi sehingga periode ini mempunya resiko tinggi untuk terjadinya pertengkaran atau rasa tidak nyaman.
Disamping itu, tahapan itu juga ditandai dengan keberadaan morning sickness dan perubahan hormonal. "Terkait gejala pada tahapan ini, ada baiknya pasangan berkonsultasi pada ahlinya," kata dia.
Tahapan selanjutnya, lanjut Rose Mini menjelaskan, kondisi psikologi calon ibu mulai membaik. Menurutnya, pada tahapan trimester kedua, kondisi psikologis calon ibu mulai tenang dan mulai beradaptasi. Meski begitu, perhatian calon ibu mulai bergeser pada perhatian terhadap perubahan bentuk tubuh, kebutuhan seksual, hubungan antara keluarga dan bayi yang dikandungnya.
"Tak sedikit calon ayah yang tidak memahami tentang kebutuhan seksusal sehingga perlu berkonsultasi dengan dokter," ungkapnya.
Ia menambahkan, pada tahapan ini pula, calon ibu mulai melihat dan meniru peran ibu. Disamping itu, ketergantungan terhadap pasangan semakin meningkat. Sebabnya, Rose meminta calon ayah untuk dapat senantisa mengerti dan memahami kondisi psikologis istrinya.
Pahami
Pada tahap kehamilan terakhir, trimester ketiga, Romi mengingatkan agar pasangan jauh lebih memahami calon ibu. Pasalnya, pada tahapan tersebut, stres meningkat kembali. Hal itu dikarenakan kondisi kehamilan yang semakin membesar. "Kondisi itu tidak jarang memunculkan masalah seperti posisi tidur yang kurang nyaman dan mudah terserang rasa lelah," ungkapnya.
Disamping itu, kata Romi, emosi calon ibu juga kembali fluktuatif karena berkaitan dengan bayangan resiko kehamilan dan proses persalinan. "Sebagian ibu mungkin berpikir kira-kira anak saya seperti apa, dan lain-lain," ungkapnya.
Khusus tahapan terakhir, dia melihat kondisi rumah sangat berperan dalam menangani kondisi psikologis calon ibu paska melahirkan. Pada tahapan tersebut ibu mengalami kondisi berupa reaksi emosional yang sifatnya sementara dan dapat dialami ibu yang melahirkan pada satu minggu pertama.
"Ketika bayi lahir, ibu baru kembali harus beradaptasi. Beruntunglah, pada budaya kita tidak memungkinkan ibu ditinggal sendiri. Banyak keluarga yang menunggu sehingga cukup membantu ibu untuk menghadap kondisi psikologis. Sementara di negara barat, sebagian besar ibu ditinggal sendirian sehingga rentan terkena sindrom baby blues," ungkapnya.
Meski demikian, Rose melihat setiap tahapan bisa ditangani dengan cara yang cukup mudah. Pertama, perbanyak informasi sebanyak-banyaklah dari lingkungan dan keluarga. Cara kedua, diskusikan dengan pasangan dan keluarga.
"Cara yang paling efektif memang perbanyaklah informasi dan diskusi yang melibatkan pasangan. Dengan begitu, terdapat kesamaan tindakan yang mengarah pada penyelesaian masalah," tegasnya.