Jumat 06 Jan 2023 12:42 WIB

Kisah Wanita dengan 20 Kepribadian, Sempat Mengira Kerasukan Setan

Selama bertahun-tahun, Emma sempat mendapatkan diagnosis yang keliru.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti
Wanita bernama Emma Lavar mempunyai 20 kepribadian. Dia sempat mengira dirinya kerasukan setan.(ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Wanita bernama Emma Lavar mempunyai 20 kepribadian. Dia sempat mengira dirinya kerasukan setan.(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama bertahun-tahun, kehidupan Emma Lavar dipenuhi ketakutan. Dia merasa kerap dirasuki hantu.

Semua pengalaman aneh dan menakutkan yang semula dia sangka akibat kerasukan hantu, ternyata dipicu oleh masalah kejiwaan. Wanita berusia 32 tahun ini pertama kali mengalami blackout pada saat masih berusia sembilan tahun.

Baca Juga

Menurut eMentalHealth, blackout merupakan kondisi tidak sadarnya satu kepribadian ketika kepribadian lainnya "memegang kendali" atas tubuh. Selain mengalami blackout pada usia sembilan tahun, Emma juga mulai mendengar suara-suara yang menakutkan di kepalanya.

Saat memasuki usia 11 tahun, Emma kerap terbangun dari tidur dengan cedera aneh di tubuh yang tak dia ketahui apa penyebabnya. Emma pun menyadari, dia pernah berada di tempat-tempat yang menurut ingatannya tak pernah dia datangi.

 

Kondisi ini mendorong Emma mencari pertolongan dari tenaga kesehatan mental profesional. Selama bertahun-tahun, Emma mendapatkan diagnosis yang keliru, seperti skizofrenia paranoid dan gangguan kepribadian yang tidak stabil secara emosional.

Barulah pada saat berusia 31 tahun, Emma mendapatkan diagnosis berupa gangguan identitas disosiatif (GID) atau gangguan kepribadian ganda. GID merupakan gangguan disosiatif yang kerap berakar pada trauma berat atau berulang di masa kanak-kanak.

Pikiran penderita GID "memisahkan" diri atau berdisosiasi dengan tujuan untuk melindungi diri sendiri dari beragam emosi yang terlalu menyakitkan untuk dicerna. Barrier disosiatif mencegah terbentuknya kepribadian tunggal yang kohesif, sehingga memicu munculnya fragmen-fragmen atau beragam "kepribadian" di dalam satu tubuh.

"Sebelum didiagnosis dengan gangguan identitas disosiatif, saya takut saya dihantui atau dirasuki," ujar Emma, seperti dilansir laman Metro, baru-baru ini.

Ketakutan ini muncul karena Emma terkadang pulang ke rumah dan menemukan adanya catatan tulisan tangan yang tak dia ingat sebelumnya. Emma pun pernah menemukan poster atau baju di dalam kamarnya dalam kondisi rusak.

"Saya pernah tersadar dari blackout dalam kondisi berpakaian penuh di sebuah laut di Brighton, atau (tersadar) di rumah sakit dengan luka bakar kimia, saya sangat takut," kata Emma yang kini memiliki banyak luka dan cedera permanen akibat kejadian yang tak bisa diingatnya.

Emma mengatakan, kepribadiannya yang lain muncul karena menahan beragam memori traumatis. Kepribadian-kepribadian tersebut merasakan penderitaan dan kebingungan yang sangat besar. Emma merasa kepribadian-kepribadian tersebut mungkin merasa sangat putus asa untuk bisa mengakhiri penderitaan dan terjebak di dalam masa lalu.

"Mereka tidak sadar bahwa waktu telah lama berlalu dan kini mereka ada di dalam tubuh berusia 32 tahun," ujar Emma.

Seiring waktu, Emma mengatakan kepribadiannya yang lain mulai berkomunikasi dengan terapis. Sejauh ini, Emma mengatakan ada 20 kepribadian berbeda yang berhasil dikenali dalam dirinya. Tiap kepribadian memiliki usia hingga sikap yang berbeda-beda. Salah satunya adalah seorang gadis bernama Lavender yang berusia delapan tahun.

"Dia menyimpan banyak ingatan traumatis," ujar Emma.

Ada pula kepribadian bernama Clover yang tak diketahui usianya. Kepribadian ini memiliki ketakutan besar untuk bertemu orang-orang yang pernah menyakiti Emma di masa lalu. Ketakutan ini kerap mendorong Clover untuk mengubah penampilan tubuh Emma menjadi sulit dikenali, seperti mencukur seluruh rambut Emma.

Emma mengatakan, dirinya sedang belajar hidup dengan lebih sehat dan harmonis bersama kepribadian-kepribadian tersebut. Dengan cara ini, dia berharap bisa membuat kepribadian-kepribadiannya yang lain berhenti melakukan hal-hal yang dapat merusak atau mencederai diri sendiri.

"Terapi berfokus pada upaya membangun komunikasi di antara semua kepribadian berbeda, meruntuhkan barrier disosiatif yang dibangun oleh pikiran, memproses memori, emosi, atau keyakinan yang berkaitan dengan trauma, sampai semua kepribadian bisa bersatu dan menjadi satu kepribadian atau lebih yang bahagia," ujar Emma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement