Sabtu 04 Oct 2025 17:19 WIB

Deteksi Makanan tak Aman MBG Dinilai Jangan Dibebankan ke Siswa

Salah satu menu di MBG yang memiliki potensi besar menyebabkan keracunan adalah lauk.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Siswa menyantap hidangan Makanan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Pejaten Barat 01 Pagi, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025).Tanggung jawab mendeteksi makanan yang berpotensi beracun dalam program makan bergizi gratis (MBG) dinilai tidak semestinya dibebankan kepada siswa.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Siswa menyantap hidangan Makanan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Pejaten Barat 01 Pagi, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025).Tanggung jawab mendeteksi makanan yang berpotensi beracun dalam program makan bergizi gratis (MBG) dinilai tidak semestinya dibebankan kepada siswa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanggung jawab mendeteksi makanan yang berpotensi beracun dalam program makan bergizi gratis (MBG) dinilai tidak semestinya dibebankan kepada siswa. Menurut pakar teknologi pangan dari UGM, Prof Sri Raharjo, pengetahuan siswa mengenai kontaminasi makanan masih terbatas.

la menjelaskan potensi bahaya dalam makanan tidak selalu dapat terdeteksi melalui visual, aroma, rasa, atau tekstur, karena makanan yang terkontaminasi bisa saja tampak normal. Potensi kontaminasi justru bisa berasal dari bahan baku yang mengandung bakteri patogen yakni bakteri penyebab penyakit.

Baca Juga

"Persoalan pangan yang tidak aman itu tidak selalu dibersamai dengan tanda-tanda katakan pembusukan gitu ya. Ada yang terlihat aman-aman saja, tapi ternyata terkontaminasi patogen. Bakteri patogen itu walau jumlahnya tidak perlu banyak, tapi bisa menimbulkan sakit," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Sabtu (4/10/2025).

Menurutnya, bakteri patogen tidak selalu membuat aroma dan rasa makanan menjadi tak enak. la mengungkapkan dalam kasus keracunan massal di sejumlah sekolah di Indonesia, diperkirakan terdapat potensi bahaya yang memang tidak mampu dideteksi oleh siswa.

Selain itu, reaksi keracunan dari setiap kasus pun berbeda-beda. Tidak semua bereaksi langsung dengan memuntahkan makanan. "Reaksi bisa muncul kapan saja dan korban tidak selalu merasa mual atau muntah-muntah," kata Sri.

Untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan pada menu makanan MBG, ia mendesak perlu adanya perhatian khusus terhadap proses pengolahan hingga pengemasan makanan. Selain itu, perlu diperhatikan juga waktu pengolahan hingga makanan dikonsumsi siswa. Bahkan perlu diruntut satu per satu dari isi tray makanan.

"Dalam satu tray makanan yang macam-macam itu, kira-kira yang berkontribusi pada keracunan tadi itu dimana? Nasi, lauk, atau sayurannya kah? Gitu kan? Nanti juga diperiksa dalam proses penyiapannya," kata Sri.

la menyebutkan salah satu menu di MBG yang memiliki potensi besar menyebabkan keracunan adalah lauk. Pengolahan lauk memerlukan waktu dan pemanasan yang cukup agar dapat mematikan atau mengurangi bakteri di bahan mentahnya.

Sementara terdapat keterbatasan waktu, alat, hingga Sumber Daya Manusia dari pihak penyedia MBG. "Terpenting, pada pengadaan bahan mentahnya, bahan segarnya entah itu daging, ikan atau sayurannya itu, usahakan memang kondisinya bersih cemarannya dan belum tinggi," kata dia.

Selain itu, kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) perlu diperhitungkan kembali. Pasalnya, target yang dipatok pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi kurang lebih 3.000 pack MBG terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum. Sehingga kontrol terhadap makanan yang dipersiapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ameera Network (@ameeranetwork)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement