Rabu 13 Aug 2025 16:41 WIB

LSF Tanggapi Kontroversi Film Merah Putih: One for All

Menurut LSF, rating penilaian rendah, tinggi, buruk, bukan kewenangannya.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Salah satu adegan di film Merah Putih: One for All. LSF menyatakan film Merah Putih: One for All karya Perfiki Kreasindo telah lulus sensor dan mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dengan klasifikasi usia Semua Umur (SU).
Foto: Dok. Perfiki Kreasindo
Salah satu adegan di film Merah Putih: One for All. LSF menyatakan film Merah Putih: One for All karya Perfiki Kreasindo telah lulus sensor dan mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dengan klasifikasi usia Semua Umur (SU).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Naswardi, menyatakan film Merah Putih: One for All karya Perfiki Kreasindo telah lulus sensor dan mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dengan klasifikasi usia Semua Umur (SU). Menurut dia, lolosnya film tersebut bukan tanpa alasan.

"Berdasarkan hasil penilaian dan juga penelitian yang dilakukan oleh kelompok penyensoran, maka film ini tidak ada kaidah kriteria yang dilanggar. Artinya semua kriteria yang kita punya di dalam proses penilaian itu terpenuhi," kata Nawardi pada Rabu (13/8/2025).

Baca Juga

STLS untuk film ini diterbitkan pada 5 Juli 2025, yang memberinya hak untuk disiarkan di bioskop-bioskop Indonesia. Proses penilaian LSF didasarkan pada acuan utama kriteria sensor untuk animasi, yang mencakup tiga aspek yakni tema, konteks, nuansa, dan dampak. Selain itu, ada juga acuan pendukung seperti judul film, dialog, dan visualisasi. Berdasarkan kriteria tersebut, LSF menilai enam unsur penting, termasuk praktik kekerasan, pornografi, peredaran narkotika, perendahan harkat kemanusiaan, SARA, dan isu melawan hukum.

Salah satu poin penting yang ditekankan Naswardi adalah batasan kewenangan LSF. Ia menjelaskan tugas LSF adalah memastikan sebuah film tidak melanggar kriteria sensor yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah, bukan menilai kualitas artistiknya.

"Jadi, kami di Lembaga Sensor Film tidak diberikan kewenangan, baik itu melalui peraturan menteri, peraturan pemerintah, ataupun undang-undang untuk menilai kualitas. Nah, itu rating penilaian rendah, tinggi, buruk, sedang, jelek, itu yang bisa memberikan adalah kritikus film, ataupun penonton dari film itu sendiri," ujarnya. 

Penilaian semacam itu, menurutnya, seharusnya menjadi domain kritikus film atau penonton itu sendiri. Naswardi mengatakan LSF menerima semua film untuk disensor tanpa diskriminasi. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa masukan dari publik, kreator, dan industri terkait kualitas sinematografi tetap menjadi perhatian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement