REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Game Indonesia (AGI) menanggapi wacana pelarangan gim daring seperti Roblox. Ketua Umum AGI, Shafiq Husein, mengusulkan pendekatan yang dinilainya lebih bijak dan holistik terhadap wacana itu.
Menurutnya, alih-alih mengambil langkah pelarangan total, pemerintah sebaiknya fokus pada edukasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak terkait. Shafiq memahami kekhawatiran di balik kebijakan tersebut, terutama terkait potensi dampak negatif terhadap anak-anak, namun ia menilai bahwa solusi yang lebih efektif adalah dengan melibatkan komunitas dan pelaku industri gim.
"Kami memahami kekhawatiran di balik keputusan pelarangan Roblox, namun menilai bahwa kebijakan tersebut membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dan berdasar pada edukasi serta kolaborasi," ujar Shafiq pada Senin (11/8/2025).
Ia berpendapat pelarangan gim online secara menyeluruh bukanlah jawaban yang tepat untuk menghadapi tantangan ini. Sebaliknya, ia menyarankan agar pemerintah dan pemangku kebijakan memulai dialog terbuka dengan komunitas, orang tua, dan pelaku industri gim.
Menurut Shafiq, peran orang tua dalam pengawasan, sistem klasifikasi usia yang jelas, serta literasi digital yang memadai adalah langkah-langkah yang jauh lebih efektif. Ia menekankan literasi digital dapat menjadi kunci agar ekosistem industri gim tetap sehat dan memberikan dampak yang baik bagi anak-anak.
Shafiq juga menyoroti potensi besar yang ditawarkan oleh platform seperti Roblox. Ia meyakini dengan pendampingan dan literasi digital yang memadai, platform tersebut bisa menjadi wadah bagi para pengembang muda Indonesia untuk mengembangkan karier dan potensi mereka.
"Roblox adalah platform kreatif yang memungkinkan jutaan anak dan remaja di seluruh dunia untuk belajar pemrograman, desain game, serta kolaborasi digital secara aktif. Banyak developer muda Indonesia yang memulai kariernya dari Roblox," ujarnya.
Wacana pelarangan gim daring muncul setelah kementerian dan lembaga terkait sepakat untuk memblokir gim online yang mengandung unsur kekerasan, dengan alasan potensi bahaya bagi anak-anak. Kekhawatiran ini didukung oleh data dari Komisi X yang menunjukkan bahwa 65 persen siswa di Indonesia menghabiskan waktu minimal empat jam sehari untuk bermain gim daring, belum termasuk waktu untuk mengakses media sosial. Kondisi ini dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan prestasi akademik siswa.
Meskipun demikian, AGI menegaskan kesiapannya untuk berkolaborasi dengan pemerintah. Shafiq mengatakan AGI siap duduk bersama pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih bijak, terarah, dan edukatif demi ekosistem digital yang sehat dan inklusif bagi generasi muda Indonesia.