Jumat 20 Jun 2025 09:36 WIB

Post-Hajj Syndrome, Kondisi Hampa yang Kerap Dirasakan Sepulangnya Haji

Post-Hajj Syndrome merupakan kondisi yang ditandai dengan perasaan hampa.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Jamaah haji (ilustrasi). Jamaah haji mungkin mengalami Post-Hajj Syndrome sepulangnya dari haji.
Foto: Republika/Daan Yahya
Jamaah haji (ilustrasi). Jamaah haji mungkin mengalami Post-Hajj Syndrome sepulangnya dari haji.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian jamaah haji mungkin mengalami perubahan emosional setelah kembali dari Tanah Suci. Alih-alih merasa tenang dan penuh kebahagiaan, tidak sedikit yang justru diliputi kehampaan, kegelisahan, dan kerinduan mendalam terhadap suasana sakral di sekitar Ka'bah. Fenomena ini dikenal dengan istilah Post-Hajj Syndrome.

Psikolog dan dosen dari IPB University, Nur Islamiah, mengatakan kondisi ini merupakan bentuk transisi psikologis, emosional, dan spiritual yang umum terjadi pascaibadah besar seperti haji atau umrah.

Baca Juga

"Post-Hajj Syndrome merupakan kondisi yang ditandai dengan perasaan hampa, kehilangan makna, penurunan semangat spiritual, serta kerinduan mendalam terhadap suasana ibadah di Tanah Suci," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Kamis (19/6/2025).

Menurut Islamiah, sindrom ini bukan merupakan gangguan kejiwaan, melainkan respons emosional yang wajar setelah melalui pengalaman spiritual yang sangat intens. Dalam ilmu psikologi, hal ini sejalan dengan konsep post-event letdown, yaitu keadaan emosional ketika seseorang merasa kehilangan arah setelah melalui pengalaman hidup yang sangat bermakna.

"Secara lahiriah aktivitas berjalan seperti biasa, tetapi hati terasa kosong. Ibadah yang dilakukan terasa kurang menggetarkan seperti sebelumnya. Pikiran kerap terbang kembali ke Makkah atau Madinah, merindukan lantunan doa, suasana khusyuk, dan ketenangan jiwa yang sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.

Islamiah juga menyoroti ketegangan antara harapan sosial dan kenyataan pribadi pascahaji. Gelar "haji" atau "hajjah" kerap disertai ekspektasi masyarakat terhadap peningkatan kualitas religius dan moral. Ekspektasi ini, disadari atau tidak, dapat menjadi beban emosional tambahan, terutama bagi individu yang merasa belum mampu mempertahankan idealitas spiritual selama di Tanah Suci.

Sebuah studi mencatat, sekitar 1-1,3 persen jamaah haji mengalami gejala psikologis ringan seperti kecemasan, kesedihan mendalam, hingga gangguan tidur setelah menunaikan ibadah. Meskipun angka tersebut relatif kecil, hal ini menunjukkan bahwa reaksi emosional pascahaji merupakan kondisi yang nyata dan perlu mendapat perhatian.

Untuk mengatasi sindrom ini, Islamiah menyarankan agar jamaah menjaga rutinitas ibadah yang telah terbentuk selama berada di Tanah Suci. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sederhana, seperti membiasakan salat berjamaah di masjid bagi laki-laki, menjaga salat tepat waktu bagi perempuan, memperbanyak zikir pagi dan petang, membaca Alquran secara rutin, menulis jurnal syukur, serta memperbanyak kegiatan sosial.

Membentuk komunitas pascahaji juga dinilai efektif untuk menjaga semangat spiritual dan saling menguatkan antarjamaah. "Rasa rindu yang muncul bukanlah kelemahan. Sebaliknya, itu adalah tanda cinta, bahwa hati pernah begitu dekat dengan-Nya. Biarkan rindu itu hidup, karena darinya tumbuh niat untuk kembali," kata dia. Namun, jika gejala emosional seperti kesedihan mendalam, gelisah, atau hilangnya semangat berlangsung lebih dari dua pekan dan semakin intens, hingga mengganggu aktivitas harian, Islamiah menganjurkan untuk segera berkonsultasi dengan psikolog atau tenaga profesional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement