Selasa 03 Jun 2025 08:58 WIB

Orang Tua Harus Jadi Navigator Anak Saat Main Gawai

Orang tua perlu bangun komunikasi yang lebih terbuka dengan anak.

Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Wamendukbangga)/Kepala BKKBN Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Wamendukbangga)/Kepala BKKBN Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang tua harus menjadi navigator yang mengarahkan anak saat bermain gawai. Keluarga sebagai lingkungan utama pembentukan karakter anak dituntut terus bertransformasi.

"Kita tidak hanya bersaing dengan waktu atau pekerjaan dalam mendampingi anak, tetapi juga bersaing dengan gawai. Orang tua tidak boleh hanya menjadi penonton, kita harus menjadi navigator," kata Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Wamendukbangga)/Kepala BKKBN Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka, dalam siaran pers, dikutip Selasa (3/6/2025).

Baca Juga

Menurut Isyana, kehadiran emosional orang tua sangat penting dalam mendampingi tumbuh kembang remaja, utamanya di tengah derasnya arus digitalisasi. "Pertanyaannya, apakah kita sebagai orang tua masih menjadi tempat pulang yang paling nyaman bagi anak-anak kita? Apakah kita hadir secara emosional, bukan hanya fisik?" ujar dia.

Isyana juga mengutip buku The Anxious Generation karya Jonathan Haidt, yang di dalamnya menyoroti dampak media sosial dan gim daring terhadap kesehatan mental remaja. Remaja perempuan, disebut lebih rentan terhadap gangguan kecemasan dan citra tubuh akibat konsumsi media sosial yang berlebihan.

"Sementara remaja laki-laki menghadapi tantangan berupa ketergantungan gim daring yang mengganggu fokus dan kehidupan sosial nyata," ucapnya.

Saat ini, lanjut Isyana, pemerintah telah merespons tantangan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) yang menekankan pentingnya literasi digital dan ruang digital yang aman bagi anak-anak.

Ia menegaskan, orang tua perlu membangun komunikasi yang lebih terbuka dengan anak untuk menghindari kecanduan gawai. "Saya percaya bahwa melalui keterbukaan, ketulusan, dan kolaborasi antargenerasi, kita bisa membangun rumah yang hangat. Bukan hanya tempat tinggal, melainkan tempat untuk pulang," tuturnya.

Sementara itu, pakar ilmu keluarga dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor Yulina Eva Riany mengemukakan pentingnya komunikasi positif antara orang tua dan remaja di tengah derasnya arus informasi era digital.

Ia mengutip salah satu teori perkembangan psikososial Erik Erikson, yang menjelaskan masa remaja terbagi dalam beberapa tahap. Mulai dari pre-teens (usia 10–12 tahun), remaja awal (13–15 tahun), remaja madya (15–18 tahun), hingga remaja akhir (18–21 tahun).

Pada tiap tahap ini, remaja menghadapi krisis dan tantangan yang berbeda, utamanya pada tahap identity versus role confusion, atau ketika remaja mulai mempertanyakan jati diri mereka dan mencari arah hidup. "Remaja di usia ini tidak hanya ingin didengarkan, tetapi juga dihargai pendapatnya. Seringkali orang tua bingung, karena anak yang dulunya penurut, tiba-tiba berubah menjadi penuh perlawanan. Ini wajar karena mereka sedang mencari identitas diri," kata Eva.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement