Selasa 22 Apr 2025 14:28 WIB

Jajanan Bersertifikat Halal Mengandung Unsur Babi, Masa Berlaku Sertifikat Halal Dikritisi

Tujuh dari sembilan produk mengandung unsur babi ini mengantongi sertifikat halal.

Jajanan anak Chomp Chomp Flower Mallow (Marshmallow Bentuk Bunga) dan Chomp Chomp Marshmallow (Mini Marshmallow) mengandung unsur babi masih beredar di pasar modern, Selasa (22/4/2025).
Foto: Dok. Republika/Fuji EP
Jajanan anak Chomp Chomp Flower Mallow (Marshmallow Bentuk Bunga) dan Chomp Chomp Marshmallow (Mini Marshmallow) mengandung unsur babi masih beredar di pasar modern, Selasa (22/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Temuan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 21 April 2025 mengejutkan publik. Bagaimana tidak, temuan itu mengungkap adanya kandungan babi (porcine) dalam sejumlah produk pangan olahan yang mengeklaim telah bersertifikasi halal.

Pengawasan bersama kedua badan tersebut mengidentifikasi sembilan jenis pangan olahan yang terbukti positif mengandung unsur babi melalui pengujian laboratorium DNA dan/atau peptida spesifik porcine. Ironisnya, dari sembilan temuan tersebut, tujuh produk di antaranya telah mengantongi sertifikat halal, sementara dua produk lainnya tidak memiliki sertifikasi sama sekali.

Baca Juga

"Terkejut dan kecewa karena kasus pelanggaran sertifikasi halal di era BPJPH ini sering terjadi," ujar Founder Halal Corner Aisha Maharani saat dihubungi Republika.co.id pada Selasa (22/4/2025).

BPJPH menyatakan akan menarik produk-produk bermasalah tersebut dari peredaran. Aisha mengatakan kasus ini bukan sekadar persoalan ditemukannya kandungan bahan haram, melainkan juga mencerminkan permasalahan yang lebih fundamental dalam keseluruhan proses produk halal. "Kasus semacam ini bukan sekadar temuan kandungan bahan saja tapi juga proses produk halal mulai dari hulu ke hilir," kata Aisha.

Ia menyoroti peran krusial BPJPH sebagai badan penyelenggara jaminan produk halal, yang memiliki kewenangan untuk menerima laporan dan melakukan pengawasan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 (sebelumnya PP Nomor 39 Tahun 2021). Aisha mengkritisi implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) di lapangan yang dinilai belum optimal.

Menurutnya, SJPH saat ini lebih sering kali hanya berupa "template" dokumentasi persyaratan sertifikasi, alih-alih menjadi implementasi nyata di lapangan. "Di lapangan, SJPH saat ini hanya sekadar 'template' dokumentasi persyaratan sertifikasi saja bukan sebagai implementasi, bahkan di halal self declare, SJPH ini ditiadakan. Hal ini mengakibatkan peran BPJPH dalam pengawasan belum optimal," ujarnya.

Ia juga menyoroti kewajiban pelaku usaha yang telah bersertifikat halal untuk secara aktif melaporkan setiap perubahan bahan dan/atau proses produk halal (PPH) kepada BPJPH secara berkala, sebagaimana diatur dalam pasal 51 huruf e PP Nomor 42 Tahun 2024. Laporan berkala ini, idealnya setiap enam bulan atau satu tahun sekali, seharusnya menjadi mekanisme pencegahan agar standar halal tidak diabaikan oleh produsen.

Lebih lanjut, Aisha mengkritisi kebijakan penghapusan masa berlaku sertifikasi halal. Ia menilai kebijakan ini justru berpotensi membuka celah bagi praktik manipulasi data dan bahan oleh pelaku usaha, terutama dengan belum adanya sistem pengawasan yang jelas secara teknis dan prosedural.

"Dengan sistem tidak ada masa berlaku sertifikasi halal, sangat memudahkan pelaku usaha melakukan manipulasi data dan bahan, apalagi sistem pengawasan belum ada jelas secara teknis dan prosedurnya. Tidak ada masa berlakunya sertifikasi halal seperti jebakan Batman, seolah manis tapi malah membuka peluang kejahatan yang dilakukan oleh pelaku usaha," kata dia.

Aisha mendesak agar peraturan mengenai masa berlaku sertifikasi halal dikembalikan ke peraturan awal, yaitu dengan masa berlaku dua tahun sekali. Menurutnya, pemberlakuan kembali masa berlaku akan memastikan komitmen berkelanjutan dari pelaku usaha dalam menjaga jaminan kehalalan produk mereka.

Temuan produk mengandung babi yang sebagian besar merupakan produk impor juga menjadi perhatian kritis Aisha. "Produk yang menjadi temuan, sebagian besar adalah produk impor, ini juga jadi hal kritis ketika produk impor telah disertifikasi halal oleh lembaga halal luar negeri yang pengakuannya masih kurang ketat dalam kurasinya," ujarnya.

Aisha menyoroti kurangnya koordinasi yang efektif antara lembaga-lembaga pemangku kepentingan sertifikasi halal. "Kurangnya koordinasi antara lembaga pemangku sertifikasi halal yang menjadikan peluang adanya masalah pelanggaran standar halal oleh pelaku usaha mencuat ke publik dan lolos dari pengawasan," kata dia.

Dia berharap pemangku kepentingan halal bekerja sama memperbaiki sistem sertifikasi halal yang mulai sering kebobolan. "Kembalikan marwah halal ke tempatnya semula," kata dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement