REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan abnormal yang terjadi pada kelenjar hipofisis yang terletak di dasar otak dikenal sebagai tumor hipofisis. Kelenjar itu berperan penting dalam mengatur berbagai hormon yang memengaruhi banyak fungsi tubuh, mulai dari pertumbuhan hingga metabolisme.
"Tumor ini bisa bersifat jinak atau ganas, tetapi sebagian besar kasus adalah tumor jinak yang tidak menyebar ke bagian lain dari tubuh," kata Ahli Bedah Saraf RS Siloam Lippo Village Karawaci Julius July dalam keterangannya, Senin (12/11/2024).
Dia menerangkan, faktor risiko yang dapat berkontribusi pada perkembangan tumor hipofisis terdiri dari usia dan jenis kelamin. Tumor itu lebih sering terjadi pada orang dewasa berusia antara 30 hingga 50 tahun, yang merupakan kelompok usia paling rentan.
"Terdapat faktor-faktor hormonal yang berperan dalam meningkatkan risiko pada kelompok usia ini. Selain itu, wanita cenderung lebih rentan terhadap tumor hipofisis dibandingkan pria," kata dia.
Meskipun kondisi itu dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, kata dia, perbedaan itu menandakan adanya pengaruh hormonal yang mungkin berkontribusi terhadap perkembangan tumor. Memahami faktor risiko ini dapat membantu dalam deteksi dan penanganan yang lebih baik.
Menurut Julius, gejala yang dialami pasien dengan tumor hipofisis bervariasi tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Salah satu gejala yang paling umum adalah gangguan penglihatan, terutama kebutaan periferal, yang terjadi akibat tekanan tumor pada saraf optik.
"Sakit kepala juga merupakan keluhan yang sering disampaikan dan sering kali menjadi gejala awal yang dihadapi pasien," jelas dia.
Selain itu, pasien juga ia sebut sering melaporkan perubahan hormonal yang dapat menyebabkan gejala seperti menstruasi yang tidak teratur pada wanita dan penambahan berat badan. Keseimbangan hormonal tubuh yang terpengaruh bisa berdampak serius pada kesehatan.
Misalnya, kata dia, kelebihan hormon pertumbuhan dapat menyebabkan kondisi akromegali, sedangkan kekurangan hormon tertentu dapat menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh yang vital, seperti metabolisme dan pertumbuhan.
Dokter Spesialis THT RS Siloam Lippo Village Karawaci Michael menerangkan, timor hipofisis cukup umum, mewakili sekitar 10-15 persen dari semua tumor otak. Meskipun dapat memengaruhi pria dan wanita, prevalensi lebih tinggi ditemukan pada wanita, khususnya dalam kelompok usia dewasa.
"Pengetahuan tentang prevalensi ini dapat membantu dalam diagnosis lebih awal dan pengobatan yang tepat," kata Michael.
Dia menjelaskan, tatalaksana tumor hipofisis dapat dilakukan melalui pendekatan pembedahan dan non-pembedahan. Pembedahan sering kali diperlukan untuk mengangkat tumor, terutama jika tumor menyebabkan gejala yang signifikan atau memiliki potensi untuk menjadi ganas.
"Pendekatan non-pembedahan, seperti terapi hormon dan radiasi, juga dapat dipertimbangkan, tergantung pada kondisi spesifik pasien dan sifat tumor," jelas dia.
Salah satu inovasi terbaru dalam penanganan tumor hipofisis adalah EETS (Endoscopic Endonasal Transphenoidal Surgery), yaitu pembedahan minimal invasif yang dilakukan melalui hidung dan sinus. Metode ini memungkinkan akses yang lebih mudah ke tumor dengan risiko yang lebih rendah dan waktu pemulihan yang lebih cepat.
"Prosedur ini mengurangi trauma pada jaringan sekitarnya dan sering kali memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien," jelas Michael.
Dalam prosedur EETS, dokter spesialis THT bertanggung jawab untuk mempersiapkan jalur akses melalui hidung dan sinus serta membantu dalam visualisasi area tumor. Kolaborasi antara dokter spesialis bedah saraf dan THT sangat penting untuk keberhasilan prosedur ini, memastikan bahwa tumor dapat diangkat dengan risiko minimal bagi pasien.
EETS memiliki beberapa keuntungan dibandingkan pembedahan konvensional. Salah satu keuntungan utamanya adalah risiko yang lebih rendah. Dengan metode minimal invasif ini, kemungkinan kerusakan pada jaringan di sekitar tumor lebih kecil, yang pada gilirannya mengurangi komplikasi pasca operasi.
Selain itu, waktu pemulihan pasien juga lebih cepat, memungkinkan mereka kembali ke aktivitas normal dalam waktu yang lebih singkat. Nyeri pasca operasi juga umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan prosedur konvensional.