REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehilangan gigi dinilai dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam berbicara. Saat kehilangan satu atau beberapa gigi, cara pelafalan ketika berbicara bisa berubah dan pengucapan menjadi kurang jelas, sehingga mengganggu komunikasi sehari-hari.
Selain itu, kehilangan gigi juga dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengunyah dengan baik, sehingga membatasi jenis makanan yang bisa dikonsumsi. Hal ini juga berpotensi menyebabkan kurangnya kecukupan gizi karena sulitnya mengonsumsi makanan yang bervariasi.
Hal ini dinilai perlu dihindari utamanya bagi kelompok usia tertentu yang membutuhkan asupan nutrisi yang tetap tercukupi setiap harinya. Tak hanya itu, keterbatasan ketika makan ini juga bisa membuat seseorang merasa terasing dari berbagai pengalaman sosial dan terhalang untuk menikmati makanan favoritnya dengan orang-orang terdekat.
Kehilangan gigi dalam jangka panjang dapat mengubah struktur wajah. Tanpa gigi, tulang rahang lambat laun akan menyusut, membuat wajah terlihat lebih tua dan cekung, yang berpengaruh pada penampilan seseorang. Kehilangan gigi menyebabkan otot-otot wajah kehilangan penopangnya, yang berakibat pada tampilan wajah yang lebih berkerut dan terlihat lebih tua. Perubahan ini mengakibatkan perubahan fisik pada wajah, seperti sudut mulut yang menurun, penipisan bibir, tampilan bibir atas yang lebih panjang, serta hidung yang tampak lebih besar karena hilangnya dukungan pada bibir atas.
Ketua Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada (FKG UGM) drg Murti Indrastuti M Kes, Sp Pros (K) mengatakan kehilangan gigi bisa menimpa individu di semua rentang usia dengan berbagai penyebab. Mulai dari perilaku kesehatan gigi yang buruk maupun diet tinggi gula yang mengakibatkan gigi berlubang dan harus dicabut, trauma pada gigi akibat kecelakaan, gum disease, kebiasaan merokok yang memperburuk kondisi gigi, hingga kondisi lainnya. "Jika kehilangan gigi ini dibiarkan dalam waktu lama, dampaknya akan mempengaruhi kemampuan fisik serta estetika wajah,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Rabu (23/10/2024).
Dia mengatakan, penggunaan gigi palsu atau gigi tiruan menjadi salah satu solusi dalam menggantikan peran gigi yang hilang ini agar individu tetap dapat berbicara, mengunyah, dan menelan dengan baik. Gigi palsu juga menjadi penopang bagi otot-otot wajah, sehingga dapat mempertahankan struktur wajah secara keseluruhan.
Secara umum, perawatan gigi palsu ini relatif mudah dan tidak membutuhkan operasi, alias sifatnya non invasive. "Namun pembuatannya, atau solusi lain, akan direkomendasikan oleh dokter setelah melihat kondisi kesehatan pasien secara komprehensif," kata dia.
Polident sebagai merek perawatan gigi palsu dengan solusi perekat dan pembersihnya, yang diproduksi oleh perusahaan kesehatan konsumen Haleon, turut mengumumkan inisiatif penyediaan akses gigi palsu kepada individu yang membutuhkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terdapat rencana untuk melakukan ekspansi program ke kota lainnya di Indonesia.
“Harapannya, program dari Polident ini meningkatkan akses masyarakat terhadap gigi palsu, sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan gigi dan mulut. Dengan adanya program ini, diharapkan lebih banyak orang dapat memperoleh manfaat dari penggunaan gigi palsu yang tepat,” ujarGeneral Manager Haleon Indonesia Dhanica Mae Dumo-Tiu.
Masalah kesehatan gigi, mulai dari gigi berlubang hingga kehilangan gigi, sangat umum terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2023, proporsi gigi yang hilang, dicabut, dan tanggal di Indonesia mencapai 21 persen.
Penyebaran tertinggi terjadi pada individu berusia 65 tahun ke atas, yaitu sebesar 46,5 persen. Penyebaran tertinggi selanjutnya terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun sebesar 37,2 persen, usia 45-54 tahun sebesar 26,4 persen, dan usia 35-44 tahun sebesar 18 persen — menunjukkan bahwa kehilangan gigi memengaruhi individu di semua kelompok usia, termasuk mereka yang berada di usia produktif. Meskipun angkanya cukup signifikan, penggunaan gigi tiruan di Indonesia hanya 3,1 persen.
Survei yang sama menunjukkan bahwa 91,9 persen orang yang disurvei belum pernah mengunjungi dokter gigi karena berbagai alasan, termasuk tidak pernah merasakan sakit gigi, merasa tidak perlu, atau memilih untuk mengobati diri sendiri. Padahal, masalah kesehatan gigi seperti kehilangan gigi yang dibiarkan berkepanjangan tanpa bantuan tenaga kesehatan justru dapat memengaruhi kesehatan secara keseluruhan, dan kesehatan mulut secara khusus.