Sabtu 12 Oct 2024 19:08 WIB

AIPKI Tegaskan Bullying di Lingkungan Pendidikan Kedokteran Harus Diakhiri

AIPKI mendukung penerapan zero bullying.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Bullying (ilustrasi). Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) menekankan pentingnya penghapusan praktik perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran.
Foto: Republika/Mardiah
Bullying (ilustrasi). Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) menekankan pentingnya penghapusan praktik perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) menekankan pentingnya penghapusan praktik perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran. Utamanya, setelah kasus tragis dokter PPDS Universitas Diponegoro yang diduga bunuh diri akibat di-bully senior.

AIPKI menegaskan praktik bullying bukan tradisi yang harus dilestarikan. “Kita dari AIPKI mendukung bahwa zero bullying, itu sudah sepakat. Karena memang bullying itu bukan praktik yang baik,” kata Ketua AIPKI Prof Budi Santoso seusai membuka Mukernas Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) di Jakarta, Sabtu (12/10/2024).

Baca Juga

Namun demikian, menurut Budi, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan perlu pendekatan yang lebih baik dalam menangani kasus bullying. Menurut dia, keputusan pemerintah dalam membekukan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Undip kurang tepat. Pasalnya, langkah pembekuan itu merugikan masyarakat dan mahasiswa lain yang mungkin tidak terlibat dalam kasus perundungan.

“Pembekuan itu kan tentu merugikan masyarakat, karena mereka yang tidak terlibat jadi ikut terdampak. Jadi kami harap untuk mengatasi kasus bullying ke depan bisa lebih baik, dan melibatkan semua yang terlibat di dalamnya dengan cara pendekatan bijaksana, pendekatan yang lebih baik lagi,” kata Prof Budi.

Budi menilai, hukuman untuk kasus perundungan ini seharusnya hanya ditujukan untuk pelaku saja. Jika setelah penyelidikan terbukti ada pelanggaran, Budi sepakat pelaku harus menerima sanksi yang berat.

“Kalau terbukti ada bullying, semuanya saya sepakat dikeluarkan sekalipun. Tapi itu harus setelah penyelidikan yang adil, karena bisa jadi pelaku itu melakukan bullying tanpa sepengetahuan pihak kampus. Kalau terbukti saya sepakat dengan hukuman apapun,” kata Budi.

Selain persoalan hukuman, ia juga mendorong pemerintah untuk berperan aktif dalam mengampanyekan prosedur anti-bullying di pendidikan kedokteran. Prof Budi yang juga menjabat Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, mengatakan FK Unair sejak 2018 telah menerapkan prosedur pelaporan dan sistem penanganan kasus bullying.

Sebagai pencegahan, FK Unair juga sering melakukan seminar dan pelatihan untuk menanamkan kesadaran anti-bullying di kalangan mahasiswa dan seluruh civitas kampus. “Tapi yang paling penting sekarang itu adalah pencegahan. Kita harus mencegah agar tidak terjadi lagi kasus bullying,” kata dia.

 

 

Gumanti Awaliyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement