Selasa 17 Sep 2024 16:35 WIB

Pakar: Waspadai Penelitian yang Bilang BPA tidak Berbahaya

Paparan panas dan paparan sinar UV pada galon, akan menyebabkan BPA-nya terlepas.

Paparan panas dan paparan sinar UV pada galon, akan menyebabkan BPA-nya terlepas.(ilustrasi)
Foto: Istimewa
Paparan panas dan paparan sinar UV pada galon, akan menyebabkan BPA-nya terlepas.(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kesehatan mengajak masyarakat bersikap kritis terhadap opini yang disengaja meremehkan bahaya senyawa kimia Bisfenol A (BPA). Sikap negatif dinilai membahayakan kesehatan jutaan konsumen di Indonesia.

“Terkadang, mereka dibiayai oleh yang mendukung (kemasan mengandung BPA) itu, kita bisa lihat. Makanya kita harus pilah-pilah mana yang netral dan mana yang pro,” kata dr I Made Oka Negara, SKed, MBiomed,  dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, seperti dalam siaran persnya.

Baca Juga

Dr Oka Negara menegaskan perlunya semua pihak bersikap kritis terhadap segelintir penelitian yang cenderung meremehkan bahaya BPA. Penegasan ini disampaikannya sebagai bagian dari edukasi tentang bahaya pencemaran BPA di sela Seminar “BPA Free : Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sejahtera”, di Hotel Amarossa Cosmo, Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Dr Oke mempertanyakan kalau ada yang bilang beberapa penelitian belum well-confirmed tentang BPA. “Saya bilang, coba lihat itu penelitian yang menganggap BPA nggak masalah, (menganggap) biasa aja, dan ada juga jurnalnya, ternyata itu dibiayai oleh produsen yang mendukung (BPA) itu,” ujarnya.

Dr Oka Negara juga menyoroti praktik industri AMDK dalam penggunaan galon guna ulang yang boleh dibilang sangat memprihatinkan. Galon-galon ini sering kali didistribusikan menggunakan truk-truk terbuka, yang berarti terpapar langsung pada suhu ekstrem, terutama panas matahari yang menyengat.

Paparan ini dapat memicu pelepasan senyawa Bisfenol A (BPA) dari dinding kemasan galon ke dalam air yang diwadahinya. “Galon ini menjadi masalah pada waktu akan ditransport atau didistribusikan, mulai dari yang kosong mau diisi, maupun yang sudah diisi dan (dikirim) ke distributor-distributornya, itu saya lihat dan beberapa data menyebutkan bahwa walaupun mereka tidak panas, tapi dalam distribusinya bisa terpapar panas, karena ditaruh di truk-truk terbuka,” kata dr Oka Negara.

“Jadi paparan panas dan paparan sinar ultraviolet (UV), akan menyebabkan BPA-nya terlepas,” katanya menambahkan. “Kalau bisa, saran saya, truk-truk pengangkutnya berataplah, jadi tidak ada pengaktifan BPA-nya jadi tergelontor lepas.”

“Dalam konteks kandungan senyawa kimia BPA, beberapa penelitian sudah sangat masif menjelaskan bahwa BPA berbahaya secara akumulatif untuk kesehatan,” katanya lagi.

Dr.Oka Negara yang dikenal kompetensinya di bidang kesehatan seksual dan reproduksi, dan saat ini aktif di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, juga menegaskan bahwa paparan senyawa Bisfenol A (BPA), terutama saat janin masih dalam kandungan, bisa menyebabkan kelainan pada organ reproduksi pria, termasuk micropenis, yaitu kondisi di mana ukuran penis lebih kecil dari biasanya.

“BPA ini masuk dalam konteks Endocryn Disrupting Chemicals (EDCs) atau bahan-bahan kimia yang mengganggu hormon,” ujarnya.

Karenanya, bila, BPA dikonsumsi terus menerus, menurutnya bisa menimbulkan gangguan estrogen, dan pada laki-laki berpotensi mengalami micropenis, berpotensi mengalami gangguan kesuburan. "Kalau pada perempuan, cenderung mengalami debut seksual lebih awal, payudaranya dan panggulnya lebih besar lebih awal,” katanya melanjutkan.

Lebih jauh dr Oka Negara menyebutkan adanya kemungkinan peran BPA pada turunnya angka kesuburan perempuan, dibanding dua atau tiga dekade lalu. Hal ini dicurigai ada kaitannya juga dengan  dampak senyawa kimia berbahaya yang terakumulasi dan akhirnya memengaruhi kesuburan perempuan.

“Karena sekarang saja, angka infertilitas perempuan sudah mendekati 20 persen, di mana pada dua atau tiga dekade lalu, kita ini mungkin masih produk para orang tua yang anaknya lebih dari empat,” katanya.

“Tapi zaman sekarang angka fertilitasnya tidak sebesar dulu. Jangan-jangan penyebabnya adalah bahan-bahan kimia tersebut,” katanya lagi.

“Nah, sekarang kita lihat apakah (semua bukti ini) mau dianggap nggak apa-apa?” kata Dr Oka Negara.  “Atau kita mau lihat generasi berikutnya adalah generasi yang benar-benar lebih sehat.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement