Kamis 27 Jun 2024 16:35 WIB

Kemenkes Sebut Belum Ada Laporan Kasus Bakteri Pemakan Daging di Indonesia

Bakteri ini dijuluki pemakan daging karena menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan.

Bakteri (ilustrasi). Kementerian Kesehatan menyatakan belum ada kasus bakteri pemakan daging di Indonesia.
Foto: www.freepik.com
Bakteri (ilustrasi). Kementerian Kesehatan menyatakan belum ada kasus bakteri pemakan daging di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, sejauh ini di Indonesia belum ada laporan untuk kasus bakteri pemakan daging yang sedang melanda Jepang. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Jepang sedang dilanda infeksi sindrom syok toksik streptokokus (STSS) yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A. Kasus STSS di Jepang telah melampaui 1.000 dan menjadi perhatian global.

Nadia menjelaskan bakteri ini dijuluki pemakan daging karena dapat menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu singkat. Adapun penularan STSS, katanya, terjadi melalui pernapasan dan droplet, yaitu percikan ludah atau lendir dari penderita.

Baca Juga

Meski belum ada laporan, pihaknya terus memantau situasi melalui surveilans sentinel Influenza Like Illness (ILI)-Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dan pemeriksaan genomik.

Dia mengatakan pada kasus STSS yang dilaporkan di Jepang, umumnya kasus di rumah sakit yang disebabkan bakteri streptokokus yang biasanya muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan atau faring.

Dia menyebut bahwa infeksi STSS bisa berakibat fatal, karena pasien dapat mengalami sepsis dan gagal multiorgan. Akan tetapi, dia menambahkan, penyebabnya secara pasti masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat.

Jepang telah melaporkan kasus infeksi streptokokus dalam sistem notifikasi surveilans sejak 1999. Pada 2023, terdapat 941 kasus, dan angka ini meningkat menjadi 977 kasus pada Juni 2024.

Meskipun mengkhawatirkan, tingkat penyebaran STSS jauh lebih rendah dibandingkan dengan Covid-19. Masyarakat diimbau untuk tetap menerapkan perilaku hidup sehat, menggunakan masker saat sakit, dan membiasakan mencuci tangan secara rutin.

"Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi Covid-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan," kata Nadia.

Hingga saat ini, tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang terkait dengan STSS. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait peningkatan kasus iGAS atau invasive Group A Streptococcal disease, termasuk STSS, di Eropa pada Desember 2022, tidak ada rekomendasi pembatasan perjalanan ke negara-negara yang terdampak.

Pengobatan STSS dilakukan dengan pemberian antibiotik. Hingga saat ini, belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi bakteri “pemakan daging” ini.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement