REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak beredar selentingan tentang karakteristik karyawan dari kalangan Gen Z di tempat kerja. Pekerja Gen Z yang berusia 20-an awal hingga 27 tahun kerap dituding tak bisa diandalkan, kurang beretika, dan gemar berlindung di balik isu kesehatan mental.
Barangkali, anggapan itu merupakan generalisasi, dan mungkin saja tidak semua karyawan Gen Z bersikap demikian. Dikutip dari laman Forbes, Senin (13/5/2024), survei yang digelar Owl Labs dan Dcdx memberikan lebih banyak gambaran tentang pekerja Gen Z.
"Data survei baru kami menemukan bahwa tempat kerja modern masih penuh dengan konflik dan ketegangan seputar gaya kerja, antara pemberi kerja dan pekerja, pemimpin perusahaan, manajer tim, dan rekan kerja," kata CEO Owl Labs, Frank Weishaupt.
Hasil survei secara khusus tentang Gen Z menunjukkan bahwa 86 persen karyawan Gen Z percaya bahwa menjaga etika yang baik setiap saat di tempat kerja adalah hal yang penting. Lebih dari separuh Gen Z memprioritaskan etika di tempat kerja, ditambah 27 persen yang mengutamakan profesionalisme dibanding orisinalitas diri, jika diperlukan.
Pendiri dan CEO Dcdx, Andrew Roth, yang termasuk kalangan Gen Z, menggarisbawahi kesenjangan antara nilai-nilai Gen Z dan generasi lain di tempat kerja. Gaya komunikasi, bahasa, kebiasaan, dan tradisi Gen Z berbeda dengan generasi lainnya sehingga berbagai sikap Gen Z bisa dimaknai berbeda.
Roth berpendapat bahwa Gen Z bukannya tidak peduli dengan profesionalisme. Mereka hanya ingin mendapat respek yang sama seperti yang mereka berikan kepada bos mereka. Dari studi Owl Labs dan Dcdx, didapat enam poin yang diharapkan Gen Z dari perusahaan dan bos mereka agar bisa mengembangkan karier.
Pertama, Gen Z berharap generasi lain berhenti mengemukakan stereotipe bahwa Gen Z merupakan generasi yang malas, tidak termotivasi, sulit, dan tidak dapat diandalkan. Kedua, perusahaan dan bos diharapkan memahami bahwa nilai-nilai dan kebutuhan karier Gen Z berbeda, namun tidak kalah dengan generasi lainnya.
Ketiga, bos dan perusahaan diharap tidak mencoba memutar waktu dan menjadikan Gen Z cocok dengan cara kerja yang lama dan ketinggalan zaman. Keempat, Gen Z berharap ada fleksibilitas untuk memiliki lebih banyak keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personap, sehingga tidak kelelahan dan bisa lebih berkomitmen terhadap pekerjaan.
Kelima, bos dan perusahaan diharapkan membayar gaji yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam perekonomian yang sulit serta peluang untuk pertumbuhan dalam pekerjaan. Keenam, Gen Z berharap tekanan dan ancaman kehilangan pekerjaan tidak lagi ada, sehingga mereka tidak harus bergulat menjaga kesehatan mental.
Berbicara mewakili rekan-rekan Gen Z, Roth menegaskan bahwa kepemimpinan, budaya, dan tempat kerja secara keseluruhan kini dibangun secara kolaboratif dengan dorongan dan tarikan di seluruh rangkaian organisasi, bukan hanya dorongan dari atas ke bawah. "Keseimbangan dinamis inilah yang menjadi detak jantung organisasi kami di Dcdx dan saya lihat menjadi disrupsi di perusahaan-perusahaan paling sukses di dunia," ucap Roth.