Kamis 21 Mar 2024 13:00 WIB

WHO Sebut Wabah Kolera di Dunia Berkaitan dengan Perubahan Iklim

Kolera adalah penyakit yang berkaitan dengan air bersih dan sanitasi bersih.

Bakteri kolera. WHO menyatakan wabah kolera di seluruh dunia sangat terkait erat dengan perubahan iklim.
Foto: Prezi
Bakteri kolera. WHO menyatakan wabah kolera di seluruh dunia sangat terkait erat dengan perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (19/3/2024) menyatakan, wabah kolera di seluruh dunia sangat terkait erat dengan perubahan iklim, setelah pertemuan kelompok penasihat utama mengenai imunisasi. Hal ini disampaikan Direktur Imunisasi, vaksin dan biologi WHO dr Kate O'Brien saat berbicara pada konferensi pers Kelompok Penasihat Strategis Pakar Imunisasi, yang dikenal sebagai SAGE.

"Saya pikir kami memiliki pengetahuan bahwa wabah kolera yang terjadi saat ini sangat terkait dengan perubahan iklim dalam keadaan darurat, situasi konflik, dan kami telah meningkatkan kewaspadaan terhadap kolera," kata O'Brien.

Baca Juga

"Ini bukan hanya tentang vaksin, tentu saja tentu saja ini bukan garis pertahanan pertama terhadap kolera. Kolera adalah penyakit yang berkaitan dengan air bersih dan sanitasi bersih. Dan vaksin adalah metode untuk mencegah penyakit ketika penyakit itu sudah ada," lanjutnya.

O'Brien juga mengatakan dunia saat ini bersiap menghadapi wabah campak. “Dengan wabah yang sedang terjadi, perubahan iklim, perpindahan penduduk dan krisis kemanusiaan, pencegahan penyakit melalui imunisasi menjadi sangat penting dibandingkan saat ini,” katanya.

Dia mengatakan program imunisasi telah menunjukkan bahwa pertahanan terhadap penyakit adalah inti dari respons terhadap patogen baru, khususnya patogen seperti yang baru saja kita alami, yaitu penyakit Covid.

Selanjutnya dia mengungkapkan bahwa kelompok SAGE baru-baru ini melakukan tinjauan awal vaksin tuberkulosis baru, serta akan meninjau beberapa vaksin TBC lain untuk mencegah penyakit pada remaja dan orang dewasa. “TBC adalah salah satu penyakit paling berdampak yang merenggut nyawa banyak orang di seluruh dunia. Lebih dari 1,3 juta orang meninggal karena TBC pada tahun 2022, dan lebih dari 10 juta orang jatuh sakit karena TBC,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa hambatan terbesar atas akses terhadap vaksin bukanlah disinformasi, yang lazim terjadi pada masa puncak pandemi Covid-19, namun ketersediaan obat-obatan semacam itu di beberapa daerah. “Saya pikir kita melihat dengan cara yang sangat menyedihkan saat pandemi Covid-19 bahwa ketersediaan vaksin dan akses terhadap vaksin saja tidaklah cukup," katanya.

"Benar-benar diperlukan adanya permintaan masyarakat, permintaan keluarga, dan permintaan individu terhadap vaksin agar masyarakat dapat pergi dan mendapatkan vaksin. mendapatkan apa yang tersedia bagi mereka," ujarnya.

“Dan di masa lalu, seperti yang Anda ketahui, selama pandemi Covid, terjadi peningkatan jumlah misinformasi yang sangat besar dan jumlah informasi yang sangat banyak, yang kami sebut sebagai ‘infodemik’,” ujarnya.

O'Brien mengatakan sebagian dari informasi tersebut tidak benar, baik secara tidak sengaja salah atau disengaja, atau memang informasi yang salah. Namun, alasan utama orang-orang tidak mendapatkan vaksinasi bukanlah itu.

"Bagi banyak orang, jam buka klinik, jarak yang harus ditempuh, dan kemungkinan besar, kualitas layanan tidak cukup bagi mereka untuk benar-benar mendapatkan vaksin yang ditawarkan,” ujarnya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement