REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rokok elektrik (vape) maupun rokok konvensional dinilai sama-sama berisiko menyebabkan kanker paru. Dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Kanker (RSK) Dharmais, Jakarta, dr Mariska Pangaribuan, menjelaskan penyebabnya.
"Menurut kami, dokter paru, baik itu vape maupun rokok itu memiliki risiko yang sama terhadap kanker paru, karena tetap ada nikotin dan zat-zat kimia yang dibakar dan dihirup ke dalam," ujarnya dalam diskusi mengenai kanker paru yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Mariska menilai anggapan penggunaan vape sebagai langkah awal yang lebih aman untuk berhenti merokok belum terbukti secara pasti. Ia mengungkapkan hal tersebut salah satunya disebabkan oleh siklus terjadinya kanker paru pada perokok aktif, di mana pada umumnya kanker baru terjadi setelah aktif merokok selama kurang lebih 20 tahun.
"Vape ini kan baru ngetren belakangan ini ya, jadi memang nanti kita akan bisa lihat di sekitar 20 tahun lagi," ujarnya.
Sebelumnya, pendapat senada diutarakan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Prof Dr dr Agus Dwi Susanto, di mana dirinya menyoroti adanya kesalahan persepsi masyarakat perihal vape sebagai alternatif berhenti merokok yang lebih aman. Ia menilai rokok elektrik tidak berbeda dengan rokok konvensional yang sama-sama mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh.
"Fakta bahwa rokok konvensional maupun rokok elektrik sama-sama mengandung bahan adiktif yang bersifat iritatif dan merangsang peradangan inflamasi," ujarnya (9/1/2024).
Dia memaparkan sejumlah bahan yang terkandung dalam rokok elektrik seperti nikotin yang berpotensi menyebabkan ketergantungan, nitrosamin yang berpotensi menjadi zat karsinogen, gliserol/glikol yang berpotensi menyebabkan iritasi saluran napas dan paru, dan lain sebagainya. Mengingat bahaya kesehatan yang ditimbulkan, Agus menganjurkan rokok elektronik seharusnya dilarang atau diatur penggunaannya, terlepas dari potensinya untuk berhenti merokok yang masih diperdebatkan.