REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perceraian bisa terjadi karena banyak hal. Salah satunya karena istri tidak dinafkahi oleh suami. Hal itu pula yang menjadi latar retaknya biduk rumah tangga selebritas Catherine Wilson hingga Ria Ricis.
Dalam agama Islam, hak istri terkait nafkah sudah diatur. Dilansir Al-Islam, Sabtu (3/2/2024), ada konsensus di antara seluruh umat Islam bahwa pernikahan adalah salah satu sebab yang mewajibkan nafkah.
Ada konsensus serupa mengenai kekerabatan (al-qarabah). Alquran secara tegas telah menyebutkan nafkah istri dalam ayat berikut:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
...Dan pada ayah anak (suami) itu makanan dan pakaiannya... (2:233)
Yang dimaksud dengan kata ganti هُنَّ adalah istri dan الْمَوْلُودِ لَهُ adalah suami. Ada juga hadist yang mengatakan:
حق الزوجة على زوجها أن يشبع بطنها ويكسو جثتها وإن جهلت غفر لها
Hak seorang wanita atas suaminya adalah dia memberinya makan, memberinya pakaian, dan jika dia berbuat karena ketidaktahuan, maka memaafkannya.
Alquran menyebut nafkah para kerabat dalam kalimat وبالوالدين إحسانا , dan Nabi Muhammad SAW bersabda (Kamu dan hartamu adalah untuk ayahmu).
Penentuan Nafkah
Seluruh mazhab sepakat bahwa istri wajib mendapatkan nafkah dalam tiga bentuk, yaitu, makanan, pakaian, dan perumahan. Mereka juga sepakat bahwa nafkah akan ditentukan sesuai dengan status keuangan suami-istri jika status keduanya setara.
Yang dimaksud dengan status keuangan istri adalah status keuangan keluarganya dan taraf hidupnya. Namun, bila salah satu dari suami/istri berkecukupan dan yang lainnya miskin, maka mazhab-mazhab berbeda pendapat mengenai apakah nafkah harus sesuai dengan status keuangan suami (sepadan dengan kemampuannya jika dia berkecukupan dan istrinya miskin, dan sepadan dengan kemiskinannya jika dia miskin dan dia kaya) atau apakah status keuangan keduanya harus dipertimbangkan lalu ditetapkan tunjangan rata-rata.
Mazhab Maliki dan Hanbali menyatakan jika pasangan berbeda status keuangan, maka akan diikuti jalan tengah. Sementara itu, mazhab Syafi'i berpendapat nafkah ditentukan sesuai dengan status keuangan suami, dan status istri tidak diperhitungkan, dalam ini menyangkut makanan dan pakaian. Namun, mengenai perumahan, harus sesuai dengan status istri, bukan menurut status suami) al-Bajuri, 1343 H., vol.2, p.197).