REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kewajiban ayah dalam memberi nafkah dalam keluarga adalah sesuatu yang menjadi tuntutan. Pengasuh parenting Fatherman Ustadz Bendri Jaisyurrahman mengungkapkan secara umum bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa seorang ayah adalah ra’in. Ra’in adalah penggembala bagi keluarganya.
Ini juga berkaitan dengan fungsi penggembalaan yaitu bagaimana seorang ayah harus memberikan kebutuhan fisik untuk istri dan anaknya, terutama kepada istri. Ustadz Bendri mengatakan, istri merupakan orang pertama yang harus mendapatkan kebaikan suami, bahkan seorang ayah menjadi sosok yang diakui kepemimpinan laki-lakinya sebagai nilai kelaki-lakian kalau dia berkaitan dengan pemberian nafkah.
Dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 34 disimpulkan bagaimana pemberian nafkah itu berbanding lurus dengan kepemimpinan laki-laki. Menurut Ustadz Bendri, Allah SWT berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ …
“Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah melebihkan di atas yang lainnya dan karena dia menafkahkan sebagian dari hartanya.”
“Semakin besar nafkah berarti semakin bagus kepemimpinannya, semakin rendah penafkahan semakin rendah kepemimpinan dan kelaki-lakiannya. Makanya lelaki yang punya jiwa kepemimpinan kelaki-lakian, nafkah kepada istri dan anaknya itu enggak tanggung-tanggung,” kata Ustadz Bendri saat dihubungi Republika.co.id beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, nafkah yang besar itu, bukan dari jumlahnya, tetapi dari komposisi. Contohnya, seorang suami memiliki uang Rp 1 juta. Yang dimaksud besar itu adalah Rp 900 ribu untuk anak dan istrinya, serta uang Rp 100 ribu untuk dia.
Ini berbeda dengan laki-laki yang mungkin memiliki kepemimpinan rendah. Misalnya, laki-laki itu memiliki uang Rp 1 juta, istri dan anaknya hanya diberi Rp 10 ribu.
“Itu pelitnya dia menunjukkan kelemahan dia,” ujar pria yang memiliki akun Instagram @ajobendri ini.
Selain itu, Ustadz Bendri menyebut kalau ayah tidak mau memberikan nafkah, jelas ini perbuatan yang berdosa. Karena Nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam hadist: “Cukuplah seorang laki-laki dianggap berdosa jika dia menyia-nyiakan orang di bawah tanggungannya.”
Dia mengatakan, menyia-nyiakan di sini artinya tidak peduli terhadap tanggung jawab dan itu akan ditanya di akhirat oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana disimpulkan para ulama karena hadits Nabi Muhammad SAW tentang ra’in sudah sangat populer, menunjukkan hisab pertama nanti yang ditanya oleh Allah SWT kepada seorang ayah adalah terkait dengan kebutuhan fisik yang harus dia berikan terhadap istri dan anaknya.
“Jadi kalau dia ditanya, dia tidak bisa memperhatikan, maka dia berdosa. Makanya pernikahan itu bukan hanya pemuasan syahwat tapi ada tanggung jawab yang harus dipenuhi, termasuk ketika misalnya istri tetap bekerja,” kata dia.
Meskipun istri bekerja, bagi Ustadz Bendri, itu tidak menghilangkan tanggung jawab laki-laki untuk menafkahi istrinya. Karena bekerjanya istri dalam hal ini adalah bukan tuntutan yang membuat dia harus menafkahi kebutuhan keluarga.
Menurut dia, jika seorang istri bekerja itu lebih kepada hal-hal yang terkait dengan keberkahan dalam keluarga. Misalnya, membuat kemanfaatan di ilmu yang istri miliki. Istri yang bekerja juga membantu beberapa hal yang memang suami belum bisa melakukannya.
Tetapi, Ustaz Bendri mengingatkan, jangan sampai seorang suami bangga ketika semua kebutuhan yang diperlukan dipenuhi oleh istrinya. Minta maaflah dan bertekadlah supaya istri tidak harus banting tulang, kata Ustadz Bendri.
“Jadi katakanlah kalau dia bekerja biarkanlah itu untuk dirinya, nafkah dan hartanya itu untuk dirinya, sebab kalaupun istri mampu menghasilkan harta harusnya seorang suami jangan merasa GR (gede rasa-Redaksi). Karena tadi justru menghilangkan jiwa kelaki-lakiannya untuk kepemimpinannya dan keluarga dan itu membuat terjadinya masalah, seperti istri yang suka melawan, membangkang, dan sebagainya karena suami tidak bertanggung jawab,” jelas dia.
Suami istri bercerai
Lalu, bagaimana jika suami atau istri bercerai? Ustadz Bendri menyatakan ada istilah mantan istri, mantan suami, tetapi tidak ada istilah mantan ibu, mantan ayah. Oleh karena itu kalau ada anak yang diasuh oleh mantan istri, maka seorang ayah wajib menafkahi sang anak.
Ini termasuk membayar siapa yang mengasuh anaknya. Ustadz Bendri memberi contoh, yaitu kalau yang mengasuh adalah ibunya, maka sang ibu tetap harus "digaji".
“Makanya salah satu salah paham, (salah) kaprah selama ini adalah seorang ibu yang setelah bercerai sama suaminya diserahkan hak asuhnya oleh pengadilan, hal ini sebenarnya adalah karena pengin ada kebutuhan anak yang terpenuhi secara psikis dan itu dipenuhi oleh ibu di umur-umur awal,” kata Ustadz Bendri.
“Qadarullahnya karena mantan suami atau sang ayah tidak bertanggung jawab akhirnya malah sang ibu enggak diberi uang untuk menafkahi, menghidupkan dirinya, makanya dia terpaksa harus bekerja. Ujung-ujungnya anak lari ke pembantu, ini kan menyelisihi dari tujuan awal,” kata dia lagi.
Untuk itu seorang ayah yang baik atau mantan suami ini, Ustadz Bendri melanjutkan, dia menjaga mantan istrinya supaya tetap fokus mengurus anak dengan cara membayar apa yang menjadi kebutuhan anak dan sang ibu pun diberikan gaji secukupnya sesuai perjanjian. “Misalnya ini buat kamu ya sebagai 'pengasuh' anakku Rp 3 juta, Rp 5 juta, dan itu adalah hal yang disyariatkan dan kalau dilakukan masya Allah banyak-banyak banyak sekali anak-anak terselamatkan,” ujar Ustadz Bendri.