REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tagar #TolakGambarAl sempat menjadi trending topic di media sosial X (sebelumnya dikenal dengan nama Twitter). Melalui gerakan itu, para seniman dan ilustrator memprotes produksi gambar yang memakai kecerdasan buatan (AI) generatif.
"Undangan buat kalian yang muak dengan gambar AI, ayo ikuti aksi #TolakGambarAI dan suarakan pendapatmu. Hormati hak cipta seniman!!! #TolakGambarAI," tulis pengguna X @nv_chr*** yang merupakan salah satu ilustrator asal Indonesia.
Dalam gambar yang dia unggah dan juga diunggah oleh banyak seniman dan ilustrator lainnya, dijelaskan bahwa #TolakGambarAI adalah aksi memerangi normalisasi dan komersialisasi penggunaan mesin eksploitasi non etis Al Generative Image.
Gerakan itu muncul seiring dengan fenomena penggunaan Al generative image, terlebih dalam konteks komersialisasi dan kampanye. Para seniman resah dengan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap hak cipta.
Tuntutan para seniman yakni keadilan dan respek terhadap setiap karya mereka dan hak cipta. Pasalnya, AI generative image menggunakan data atau karya seniman tanpa seizin mereka untuk memproduksi gambar baru.
Lewat gerakan #TolakGambarAI, para seniman hendak memberikan edukasi dan kepedulian mengenai seriusnya pelanggaran hak cipta oleh AI generative image. Mereka juga menuntut upaya regulasi terhadap penggunaan mesin Al dan AI generative.
Seniman dan ilustrator lain diajak berpartisipasi dengan mengunggah gambar/karya/opini terkait penolakan gambar Al dengan menyertakan tagar #TolakGambarAl. Tentunya, memakai gambar/karya/opini milik sendiri dan bukan dibuat memakai Al generator.
#TolakGambarAI terkait dengan "Create Don’t Scrape", gerakan advokasi global untuk melindungi pelaku dan dunia kreatif dari perusahaan teknologi predator. Gerakan itu juga menentang eksploitasi data publik dan data pribadi yang mungkin dilakukan tanpa izin.
Ilustrator Republika.co.id, Daan Yahya, memberikan pendapatnya tentang gerakan tersebut. "Saya termasuk generasi yang masih percaya dengan proses, percaya dengan nilai-nilai estetika murni," ujar Daan.
Sebagai kreator, dia merasakan bahwa kehadiran gambar AI membuat para seniman dan ilustrator tergerus di industri kreatif. Meski, tidak dimungkiri AI generative image juga disambut baik oleh user atau konsumen yang merasa dimudahkan dengan hasil cepat dan murah.
Sejauh ini, Daan belum mendapati adanya regulasi memadai untuk aplikasi teknologi tersebut. Menurut dia, berbagai kasus di mana AI memanfaatkan karya yang sudah ada milik seniman tanpa izin untuk menghasilkan gambar baru, tentunya perlu ditindak sebab ada pelanggaran hak yang terjadi.
Namun, secara pribadi Daan menganggap seniman maupun ilustrator yang kompeten tidak akan kalah dari AI. Pria yang tergabung dalam berbagai grup ilustrator internasional itu mengatakan ada beberapa hal yang tidak bisa ditiru gambar AI dari gambar karya seniman maupun ilustrator manusia.
Daan mencontohkan, ketika seseorang berusaha menghasilkan karakter yang sama dan berulang memakai AI generator, jika dilihat saksama, hasilnya cenderung tidak konsisten. Berbeda jika digarap oleh seniman, baik secara manual maupun digital.
Selain itu, ada nilai-nilai dan keunikan dari karya asli seniman, yang tidak dimiliki karya produksi AI. Alumnus Fakultas Industri Kreatif Telkom University (dulu Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia/STISI Bandung) itu pun dahulu selalu diajari bahwa tiap karya harus memiliki "ruh" dan mencerminkan jiwa seniman. Hal itu yang tidak dimiliki AI, sebab tak ada 'sosok yang menciptakan', meski sekilas mungkin hasilnya terlihat "wow". Terlepas dari itu, Daan berpendapat para seniman dan ilustrator perlu terus beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang ada.
"Sebagai kreator, saya terus berusaha merelevansikan diri dengan zaman, mulai dari produksi gambar manual, masuk ekosistem digital, masuk NFT, sampai nanti ada hal-hal baru lainnya. Kalau mau survive, harus relevan dengan zaman," kata Daan.