Kamis 30 Nov 2023 19:59 WIB

Mycoplasma Pneumoniae Marak di China, Apakah Bisa Masuk ke Indonesia?

Untuk mengetahui ada tidaknya kasus mycroplasma, perlu dilakukan pemeriksaan.

Rep: Desy Susilawati / Red: Friska Yolandha
 A man using respirator for breathing is being carried to the ambulance vehicle by medical personnel, in Shanghai, China, 29 November 2023. China
Foto: EPA-EFE/ALEX PLAVEVSKI
A man using respirator for breathing is being carried to the ambulance vehicle by medical personnel, in Shanghai, China, 29 November 2023. China

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Beberapa waktu terakhir marak penyakit pneumonia akibat Myroplasma pneumoniae. Penyakit ini tengah melonjak kasusnya di China.

Kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat kejadian ini membuat sekolah tutup di China Utara. Apakah Mycoplasma pneumoniae sebuah ancaman dan bisa masuk ke Indonesia?

Baca Juga

Anggota Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI, Prof Erlina Burhan mengungkapkan penularan sangat mungkin terjadi, termasuk pada anak-anak karena penularannya dapat melalui droplet.

Pada akhir November kasus pneumonia akibat Mycoplasma pneumoniae juga telah dilaporkan di Eropa. "Apakah mungkin tersebar sampai Indonesia? Jawabannya mungkin," ujarnya dalam pertemuan virtual, Kamis (30/11/2023).

Tapi, menurut Erlina penyakit pneumonia akibat Mycoplasma Ppeumoniae sebenarnya sudah lama ada di Indonesia dan sudah pernah dilaporkan. Namun, gejalanya sangat ringan dan kejadiannya jarang. Pasien pun tidak dirawat jadi sehingga selama ini tidak terlalu dikhawatirkan. 

"Apakah mycoplasma yang selama ini ada di kita itu adalah juga mycroplasma yang sekarang berjangkit di China bagian utara? Itu kita enggak tahu. Karena China juga belum ada laporan strainnya apa, apakah yang sama atau yang sudah bermutasi. Meskipun sudah bermutasi, itu tetap adalah mycroplasma tidak akan menjadi mikroorganisme yang lain," ujarnya.

Erlina menambahkan, kasus infeksi Mycoplasma pneumoniae di China bisa saja masuk ke Indonesia. Pasalnya, mobilisasi orang saat ini sudah sangat tinggi seperti sebelum pandemi Covid-19. Sehingga, virus itu bisa saja ikut terbawa.

"Orang bisa datang dari mana saja, berinteraksi dan mungkin terinfeksi, tertular lalu naik pesawat atau naik kapal atau lewat darat, pergi kemana-mana, apalagi penularan ini lewat droplet," katanya.

Kasus seperti di China saat ini belum terdeteksi di Indonesia karena belum pernah melakukan pemeriksaan. 

"Kasus batuk pilek di kita sekarang juga naik, bisa karena musim penghujan, polusi udara. Lalu apakah ada mycoplasma? Itu kelemahan kita tidak melakukan pemeriksaan," ujarnya.

Menurutnya pemeriksaan mycoplasma bukan suatu pemeriksaan yang rutin dilakukan. Jika memang ingin tahu, ia mengajak Kemenkes RI pada kondisi tertentu melakukan swab pada pasien-pasien yang batuk pilek. Apalagi jika di rumah sakit ditemukan pneumonia. 

"Perlu reagen khusus, jadi mungkin kita minta pemerintah menyediakannya di rumah sakit-rumah sakit tertentu supaya kita lakukan swab dan supaya kita bisa tahu ada enggak kasusnya meningkat tidak," ujarnya.

Selama ini, lanjutnya, tidak ada pemeriksaan di laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ke arah Mycoplasma pneumoniae. Dokter hanya minta pemeriksaan kultur terhadap kuman atau bakteri. "Nah biasanya dilaboratorium itu tidak ada reagen yang khusus mycroplasma," tambahnya.

Gejala infeksi Mycoplasma pneumoniae ini umumnya ringan dan muncul satu sampai empat minggu setelah terserang bakteri. Gejala pada populasi umum, gejala khas berupa batuk yang dapat memburuk, dapat bertahan hingga beberapa pekan hingga bulan. Gejala lainnya sakit tenggorokan, lemas (fatigue), demam, nyeri kepala dan dapat ditemukan efusi pleura eksaserbasi PPOK. 

Sedangkan pada usia di bawah lima tahun ada gejala bersin-bersin, hidung tersumbat, sakit tenggorokan, mata berair, mengi (wheezing) dan muntah atau diare.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement