Ahad 26 Nov 2023 19:30 WIB

Konser Coldplay jadi Alarm Krisis Etika di Indonesia

Tidak mengembalikan Xyloband adalah contoh nyata dari tindakan yang tidak etis.

Sejumlah penonton menyaksikan konser grup band asal Inggris, Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Sejumlah penonton menyaksikan konser grup band asal Inggris, Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konser Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Rabu (15/11/2023), tidak hanya menyajikan kegembiraan bagi puluhan ribu penggemar musik, tetapi juga membuka tirai dari krisis etika yang kini tengah terjadi.

Kabar dari pihak manajemen Coldplay mengenai tingkat pengembalian Xyloband, gelang pintar canggih yang menjadi simbol konser, mencapai angka 77 persen, menarik perhatian banyak pihak.

Baca Juga

Dari total 80.000 penonton, 18.400 di antaranya tidak mengembalikan Xyloband. Sebuah angka yang mengejutkan terutama dibandingkan dengan rata-rata tahun pertama konser Coldplay yang mencapai 86 persen.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial tentang etika dan kejujuran di kalangan penonton Coldplay di Indonesia.

Terkait hal tersebut, Psikolog Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan, Theresia Novi Poespita Candra, memberikan pandangan. Dikutip Antara, Sabtu (25/11/2023), dosen dari Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan, Indonesia tengah menghadapi krisis etika, dengan kejujuran menjadi salah satu korban utamanya.

Ia menganggap mengembalikan gelang atau Xyloband adalah bentuk etika. Tidak melakukannya merupakan contoh nyata dari krisis etika yang tengah melanda masyarakat.

Novi juga menyebut krisis etika di Indonesia sebenarnya tidak hanya tercermin pada pengembalian gelang konser, melainkan juga merembes ke dalam perilaku sehari-hari. Contoh sederhananya, perilaku membuang sampah sembarangan, tanpa memperhatikan etika kebersihan, juga merupakan contoh dari krisis etika yang tengah terjadi.

Era digital, menurut Novi, memainkan peran besar dalam memperburuk kondisi ini. Kecenderungan untuk merespons secara cepat dan tanpa berpikir panjang seringkali dipicu oleh teknologi, yang mempercepat segala sesuatu dalam hidup kita.

Sebagai contoh, dalam dunia digital, ketika seseorang tidak menyukai atau tidak sependapat, orang tersebut bisa langsung menghapus pertemanan, tanpa memedulikan etika dan dampaknya pada hubungan sosial.

"Penting untuk memahami bahwa cara berpikir instan ini dipicu oleh cara kerja teknologi, yang cenderung mengejar efektivitas dan efisiensi," kata dia.

Namun, konsekuensi dari perilaku ini adalah kurangnya pertimbangan terhadap emosi orang lain dan dampak yang mungkin ditimbulkan.

Dalam konteks ini, Novi mengatakan tidak mengembalikan barang, seperti Xyloband, adalah contoh nyata dari tindakan yang tidak etis. Karena tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap pihak lain.

Salah satu aspek yang perlu dicermati adalah peran teknologi dalam membentuk cara berpikir dan bertindak manusia. Ketidakmampuan berdialog juga menjadi salah satu dampak negatif dari era digital ini. Dengan segala kemudahan dan kecepatan informasi yang diberikan teknologi, terjadi penurunan kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan dampak dari tindakan yang diambil.

Dari perspektif psikologi, Novi menjelaskan bahwa otak manusia memiliki bagian korteks prefrontal yang salah satunya memiliki tugas untuk membuat keputusan etik. 

Namun, penelitian menunjukkan di Indonesia, terutama di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, prefrontal cortex anak usia 15 tahun ke atas cenderung lemah karena kurangnya stimulasi melalui pendidikan.

 

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement