REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seseorang yang dinyatakan positif mengidap cacar monyet perlu melakukan isolasi supaya tidak menularkannya kepada orang lain. Bagaimana aturan isolasi pasien cacar monyet, yang juga dikenal sebagai penyakit monkeypox atau mpox tersebut?
"Dokter yang akan menentukan, boleh melakukan isolasi sendiri di rumah atau diharuskan rawat inap. Sebab, infeksi bisa terjadi dalam derajat ringan, sedang, dan berat," kata Ketua Satgas MPox Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Hanny Nilasari, Selasa (7/11/2023).
Informasi tersebut disampaikan Hanny pada "Media Briefing: Update MPox PB IDI", Selasa (7/11/2023). Menurut Hanny, dokter juga akan menilai apakah kondisi rumah pasien memungkinkan untuk isolasi mandiri, supaya tak menularkan penyakit ke anggota keluarga lain di rumah.
Termasuk, apakah pasien bisa melakukan isolasi mandiri dengan suplai makanan dan gizi terjamin serta ada penggunaan kamar tidur serta kamar mandi terpisah dari anggota keluarga lain. Sementara, untuk pasien yang juga mengidap penyakit lain seperti HIV, harus dirawat di rumah sakit.
Cacar monyet memiliki sejumlah gejala khas, termasuk ruam kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, meriang atau demam, nyeri otot, dan pendarahan di area rektum. Dalam beberapa kasus, gejala ruam atau lesi tidak didahului dengan demam.
Seseorang perlu segera memeriksakan diri jika mengalami gejala-gejala yang mengarah pada cacar monyet. Hanny yang merupakan dokter spesialis dermatologi dan venereologi mengatakan bahwa secara teori, inkubasi virus cacar monyet bisa berlangsung antara enam hingga 21 hari.
Pada kasus terduga mpox perlu dilakukan skrining atau pemeriksaan awal berupa wawancara tentang perkembangan penyakit. Lantas, dilakukan pemeriksaan lesi kulit dan organ-organ secara detail dan lengkap, serta pemeriksaan swab, yakni pemeriksaan laboratorium khusus dengan mengambil cairan dari lenting/keropeng/kelainan kulit.
Tidak semua lesi kulit adalah gejala mpox, namun seseorang perlu mencurigai jika lesi atau ruam muncul secara tidak biasa. Misalnya, bukan alergi, inflamasi, atau dermatitis. Terlebih, bagi pengidap HIV, kelompok LSL (lelaki melakukan kontak seksual dengan lelaki), serta pasien imunokompromais.
"Harus datang ke dokter untuk diidentifikasi dahulu lesinya," ucap Hanny.
Sementara itu, bagi kelompok rentan yang mengidap imunokompromais (kondisi ketika sistem kekebalan tidak berjalan dengan baik), dilakukan perawatan khsusus. Dokter akan mengawasi secara ketat, serta mempertimbangkan pasien untuk mendapat pengobatan antivirus sesuai kondisi.