Senin 30 Oct 2023 19:58 WIB

Osteoporosis Dikenal Silent Killer, Bagaimana Cara Mengetahuinya Agar tak Terlambat?

Sering kali, pasien tak mengetahui kondisi osteoporosis sampai benar-benar terlambat.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Wanita mengalami osteoporosis (ilustrasi). Osteoporosis dikenal sebagai silent killer.
Foto: www.freepik.com.
Wanita mengalami osteoporosis (ilustrasi). Osteoporosis dikenal sebagai silent killer.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Osteoporosis dikenal sebagai silent killer atau pembunuh senyap yang mematikan. Kondisi tulang yang rapuh akibat penurunan massa tulang dan perubahan struktur pada jaringan tulang ini kerap tidak bergejala.

Sering kali, pasien tidak mengetahui kondisi osteoporosis yang diidap sampai benar-benar terlambat. Hal itu disampaikan oleh dokter spesialis ortopedi konsultan hip & knee adult reconstruction, trauma, and sports, Yoshi Pratama Djaja.

Baca Juga

"Jika melakukan rontgen atau X-ray pun kondisinya hanya akan terlihat setelah massa tulang hilang 30-60 persen, yang artinya sudah terlambat," ungkap Yoshi pada sesi bincang santai yang digelar RS Pondok Indah Group di Jakarta, Senin (30/10/2023).

Lantas, bagaimana seseorang bisa mengetahui apakah dirinya berisiko mengidap osteoporosis atau tidak? Yoshi menyarankan melakukan screening atau pemeriksaan khusus yang bernama bone densitometry.

Dokter yang praktik di RS Pondok Indah Bintaro Jaya itu mengatakan metode bone densitometry menilai densitas atau kepadatan tulang seseorang. Bagian yang diperiksa antara lain di panggul, pergelangan tangan, dan tulang punggung.

Siapa saja yang perlu melakukan skrining? Yoshi menyebutkan beberapa kelompok yang rentan, yaitu perempuan di atas 65 tahun, laki-laki di atas 70 tahun, perempuan di atas 50 tahun jelang masa menopause dengan faktor risiko, siapa pun yang berusia di atas 50 tahun yang pernah mengalami patah tulang, serta orang yang mengonsumsi obat steroid karena kondisi kesehatan tertentu.

Adapun faktor risiko utama osteoporosis antara lain usia, densitas mineral tulang, gender, dan riwayat keluarga. Sementara, faktor risiko lainnya yaitu gaya hidup sedentari, berat badan rendah, kebiasaan merokok, minum alkohol, asupan kalsium rendah, estrogen rendah, paparan sinar matahari rendah, juga penyakit medis, dan pengobatan tertentu.

Setelah menjalani skrining tersebut, akan diketahui hasilnya yakni berisiko rendah mengidap osteoporosis, risiko moderat, atau berisiko tinggi. Disampaikan Yoshi, dari hasil itu profesional medis bisa menyarankan penanganan berbeda.

Bagi orang yang diketahui berisiko rendah mengidap osteoporosis, dokter akan menyarankan perbaikan gaya hidup, seperti olahraga dan asupan makanan tinggi kalsium. Untuk risiko moderat, dokter bisa menggabungkan perbaikan gaya hidup dan penanganan.

"Bagi yang berisiko tinggi mengidap osteoporosis, ada penanganan nonfarmakologi seperti olahraga serta suplemen kalsium dan vitamin D yang meningkatkan massa tulang, serta intervensi farmakologi berupa obat-obatan," ujar Yoshi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement