REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktor Denny Sumargo menarik perhatian publik dengan videonya saat berziarah ke makam sang ayah. Denny yang merupakan non-Muslim mengunjungi makam sang ayah yang Muslim.
Saat memasuki pemakaman, Denny terlihat menggunakan pakaian Muslim dan peci. Dia bercerita sejak kecil, tidak tumbuh dengan sang ayah.
“Jadi makam bokap gue namanya Haji Nazar Chang bin Bandao wafat di usia 72 tahun. Asli orang Sumatra Barat, Padang, Suku Koto. Gue cuma ketemu sekali setelah itu dia sudah berpulang,” kata mantan pebasket, dilansir video Tiktoknya @dennysumargoreal, Rabu (21/6/2023).
Meskipun tidak tumbuh dengan kehadiran sang ayah, Denny mengaku selalu mendoakannya. Bahkan, dia sampai hafal surat Alfatihah.
“Yang tanya kenapa gue hafal surat Alfatihah, yaitu karena gue biasa doakan Bapak gue dengan Alfatihah walaupun gue non-Muslim. Menurut gue setiap doa itu ada niat baik dari hati walaupun caranya mungkin berbeda. Tapi gue percaya Tuhan lihat hati orang,” ujarnya.
Menanggapi ini, sebenarnya bagaimana hukumnya non-Muslim mendoakan orang tua yang Muslim dengan Alfatihah maupun bacaan "Islami" lainnya? Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Prof KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang dikenal Buya Yahya pernah menjawab pertanyaan yang mirip dengan tindakan Denny Sumargo.
Menurut dia, jika non-Muslim membaca shalawat dan Alquran hingga hafal Alquran tetapi setelah membacanya mereka masih menuhankan selain Allah SWT, semua bacaan tersebut tidak ada artinya. “Karena itu sekadar bacaan bagi dia, bukan sebuah keyakinan. Setelah dia melatunkan semuanya, dia tetap kembali pada keyakinannya. Bahkan, di saat membaca pun dia dalam keyakinannya,” kata Buya Yahya dalam video Youtube di akun Al-Bahjah TV.
Allah berfirman dalam surat Al-Kafirun ayat enam:
Lakum dīnukum wa liya dīn(i).
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
“Dia punya agama, kita punya agama. Sampai batas ini kita harus pahami. Jadi, selagi dia selama membaca shalawat atau membaca Alquran masih dalam agamanya, maka dia belum masuk Islam dan belum dianggap kaum Muslimin,” ujarnya.
Namun, meskipun berbeda, Buya Yahya mengajak untuk selalu memandang perbedaan agama sebagai hal wajar. Bahkan, Nabi pun membiarkan untuk berbeda agama. “Artinya agama tidak boleh dipaksakan. Bukan berarti perbedaan agama bermusuhan atau tidak saling menghargai, tidak seperti itu,” kata dia.