Selasa 06 Jun 2023 16:12 WIB

Perbedaan ADHD dan Autisme, Kenali Ciri-cirinya

Hampir setengah anak autis juga memiliki ADHD.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Qommarria Rostanti
ADHD (ilustrasi). ADHD berbeda dengan autisme.
Foto: Flickr
ADHD (ilustrasi). ADHD berbeda dengan autisme.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar dua pertiga dari anak-anak yang mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) memiliki setidaknya satu kondisi komorbiditas, dan autisme adalah satu hal yang sering terjadi dengan ADHD. Beberapa studi menunjukkan, hampir setengah anak autis juga memiliki ADHD.

Dilansir laman Additude, Selasa (6/6/2023), gejala ADHD yang paling menonjol termasuk kurangnya perhatian, hiperaktif, dan impulsif. Dokter perilaku perkembangan anak dan penulis The Family ADHD Solution, Mark Bertin, mengatakan hal ini terutama merupakan gangguan pengaturan diri dan fungsi keterampilan yang bertindak sebagai "manajer otak" dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga

Sementara itu, autisme biasanya mencakup masalah dengan interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku berulang atau ritualistik. “Anak-anak autis tidak secara intuitif memahami beberapa aspek dunia sosial,” kata Bertin.

Mereka memiliki perilaku tertentu, seperti permainan imajinatif yang terbatas atau kurangnya bahasa isyarat. Mereka sering merasa kesulitan untuk mengelola interaksi sosial dan emosi.

Komponen utama ADHD dan autism spectrum disorder (ASD) berbeda, tetapi ada beberapa tumpang tindih antara keduanya. Trik untuk membedakannya adalah dengan menentukan alasan di balik perilaku tersebut. Misalnya, keduanya dapat menyebabkan tantangan sosial.

Untuk anak-anak dengan ADHD, akar penyebabnya mungkin termasuk kurangnya perhatian dan ketidakmampuan untuk mengatur pikiran mereka, atau impulsif. Untuk anak autis, alasannya sering kali berbeda, seperti tidak memahami komunikasi nonverbal atau keterlambatan dalam kemampuan bahasa.

Bertin mengatakan, anak-anak dengan ADHD mungkin berjuang secara sosial. Penanda perkembangan sosial awal di antaranya main bergiliran, bahasa isyarat, menanggapi nama, dan permainan imajinatif. Menurutnya, ciri-ciri seperti mengenai wajah yang sesuai (ekspresi wajah anak mencerminkan pengalaman emosionalnya saat ini), humor, dan empati tidak terpengaruh. Ciri-ciri itu, jika kurang, adalah indikator kritis autisme.

“Anak-anak dengan ADHD mungkin tidak dapat mengikuti permainan bergiliran, tetapi mereka memahaminya. Mereka mungkin tidak merespons ketika dipanggil karena masalah perhatian, tetapi mereka terlibat secara sosial dan mengenali nama mereka dan artinya,” ujar Bertin.

Untuk mendapatkan diagnosis yang akurat dan lengkap, Bertin menyarankan untuk bekerja dengan seorang profesional yang mengetahui kedua kondisi tersebut. Evaluasi menyeluruh bertujuan untuk menentukan kekuatan dan kelemahan anak.

“Berbagai langkah tes mencoba mendokumentasikan gejala ADHD, fungsi eksekutif, keterlambatan sosial, dan komunikasi, kecemasan, gangguan suasana hati, dan sejumlah gejala lainnya,” katanya.

Tapi tes saja tidak cukup. Bagi Bertin, mengevaluasi ADHD dan autisme tetap merupakan keterampilan klinis yang didasarkan pada pengenalan seorang anak dan mencari gambaran komprehensif tentang kehidupan mereka di dunia nyata, pemahaman global tentang kemampuan sosial dan percakapan anak, serta keterampilan bermain dan kehidupan sehari-hari mereka. Terkait ADHD, ada bukti substansial yang mendukung penggunaan obat.

Untuk autisme saja, beberapa obat dapat membantu dengan aspek tertentu seperti perilaku obsesif, tetapi tidak ada obat yang disetujui untuk pengobatan kondisi yang mendasarinya. Di sisi lain, sebelum atau sesudah anak mendapatkan diagnosis pasti, terapi perilaku dapat membantu.

“Jika seorang anak memiliki tantangan sosial yang sedang berlangsung, misalnya, banyak intervensi serupa seperti terapi perilaku untuk membantu mengembangkan keterampilan,” ujar Bertin.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement