REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam film pahlawan super live-action di Marvel Cinematic Universe (MCU), sosok Spider-Man yang terkesan direduksi menjadi sekadar sahabat karib Iron Man dan Avengers. Dia punya peran dalam cerita, tetapi tidak terasa istimewa sebagai individu.
Hal berbeda terlihat di film animasi komputer Spider-Man: Across the Spider-Verse yang sedang tayang di bioskop. Dikutip dari laman Collider, Senin (5/6/2023), sinema itu banjir pujian dari kritikus, yang disebut sebagai sekuel berani yang sukses secara narasi dan visual.
Film merupakan sekuel dari Spider-Man: Into the Spider-Verse rilisan 2018. Tokoh utamanya adalah Miles Morales/Spider-Man (Shameik Moore) yang berpetualang bersama Gwen Stacy/Spider-Woman (Hailee Steinfeld), melintasi multiverse dan berjumpa banyak Spider-People.
Presentasi visual film arahan sutradara Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K Thompson ini dinilai spektakuler. Sinema pun dipuji lantaran berani melakukan banyak eksperimen dan sukses melawan stagnasi dengan cara yang indah dan berani.
Seperti Into the Spider-Verse yang sama megahnya, film ini adalah karya yang patut diacungi jempol dalam genre superhero. Sebagai sekuel, film mengukuhkan cerita sebelumnya sekaligus memberi ruang untuk cerita yang masih bisa berkembang.
Walaupun isu multiverse terkesan sama dengan MCU, ada perbedaan yang signifikan. Pada film-film MCU, banyaknya penjahat baru yang harus dilawan dan narasi tambahan akhirnya membuat film terlalu sibuk, namun tidak demikian dengan Spider-Man: Across the Spider-Verse.
Karakter yang kuat, gaya animasi yang hidup, tekstur kaya dan semburan warna kaleidoskopik, membuat film animasi ini menjadi standar tinggi untuk jenisnya. Di balik topeng Spider-Man, film tidak lupa membuat ruang yang diperlukan untuk menjelajahi seluk-beluk hidup Miles.
Bahkan saat film memperkenalkan lebih banyak karakter yang tak terhitung jumlahnya dan mencakup banyak dunia, penceritaan tentang Miles tidak pernah tersesat. Saat cerita di prekuel Into the Spider-Verse berakhir, Miles berhasil tampil sebagai pahlawan dan menyelamatkan dunia.
Setelah kemenangannya, sekarang Miles menyadari bahwa hidup tidak semudah itu. Terlebih, ketika dia menghadapi fase tumbuh dewasa sambil menjadi Spider-Man. Itu mungkin kondisi klasik yang dialami pahlawan super, yakni identitas rahasia dan kehidupan ganda.
Ada rasa kesepian mendalam yang hadir di tengah lelucon yang dia buat dan hal-hal yang dia lakukan. Setiap detail di Across the Spider-Verse pun penting, mewujudkan pendalaman karakter yang lucu sekaligus menyentuh hati. Ini adalah kisah yang melayani karakter.
Dengan semua itu, kritikus menyandingkan Spider-Man: Across the Spider-Verse serupa dengan trilogi film Spider-Man yang diarahkan Sam Raimi. Tiga film yang tayang pada 2002, 2004, dan 2007 itu menampilkan Tobey Maguire sebagai Peter Parker.
Di Across the Spider-Verse, Miles menyatakan bahwa dia akan menulis dan menentukan perjalanan hidupnya sendiri, alih-alih mengikuti jalur yang ditentukan orang lain. Itu memberikan pukulan emosional yang sama seperti ketika Raimi menunjukkan Peter memulai jalannya sendiri.
Pengembangan kedua karakter tersebut sangat kaya dan membawa dampak yang lebih besar untuk cerita. Meskipun ada referensi ke beberapa film lain di Across the Spider-Verse, keterkaitan sinema itu dengan Spider-Man versi Raimi dianggap sebagai yang paling tepat.