REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemanis buatan yang biasa digunakan dalam makanan olahan dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan strok. Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature Medicine pada Senin (27/2/2023).
Tingkat pemanis buatan yang ditambahkan ke makanan olahan dalam jumlah besar juga dapat meningkatkan risiko penggumpalan darah pada seseorang. Hal ini dikarenakan pemanis buatan ini mengandung erythritol.
Orang yang memiliki erythritol dalam jumlah besar dalam darahnya dua kali lebih mungkin menderita serangan jantung atau strok, dibandingkan dengan mereka yang memiliki jumlah paling sedikit. “Ada banyak data di sini untuk menyatakan bahwa kita harus membaca label dan menghindari erythritol, terutama jika berisiko terkena penyakit kardiovaskular,” kata peneliti senior dr Stanley Hazen, dilansir US News, Selasa (28/2/2023).
Ahli lain menyatakan masih perlu lebih banyak penelitian sebelum erythritol dapat dianggap berpotensi berbahaya. “Pada titik ini, menurut saya, menggunakan sedikit pada makanan atau menggunakan bentuk butiran, itu bukan hal yang mengkhawatirkan,” kata Ketua Kelompok Kerja Nutrisi dan Gaya Hidup American College of Cardiology, dr Karen Aspry.
Calorie Control Council Amerika Serikat mencatat bahwa erythritol telah diproduksi secara komersial selama lebih dari 30 tahun dan digunakan sebagai pemanis industri di lebih dari 50 negara. "Keamanan erythritol sebagai bahan makanan dalam kondisi penggunaan yang dimaksudkan telah dibuktikan oleh sejumlah studi keamanan manusia dan hewan, termasuk studi pemberian makan jangka pendek dan jangka panjang, reproduksi multigenerasi dan teratologi (kelainan bawaan)," kata lembaga tersebut dalam sebuah pernyataan.
Erythritol memiliki 70 persen rasa semanis gula dan diproduksi secara komersial dengan memfermentasi jagung. Zat ini ditemukan di banyak makanan keto dan makanan tanpa gula.
Untuk penelitian ini, Hazen dan timnya pertama-tama mengevaluasi 1.157 pasien yang menjalani penilaian kesehatan jantung. Peneliti menemukan bahwa kadar erythritol dalam darah dikaitkan dengan risiko tiga tahun seseorang menderita serangan jantung atau strok.
Semula, peneliti tidak ingin mempelajari pemanis buatan. "Kami sedang mencari temuan bahan kimia dalam darah pasien dan mengidentifikasi siapa yang berisiko terkena serangan jantung, strok, atau kematian pada masa depan dalam tiga tahun ke depan," kata Hazen.
Peneliti menemukan, senyawa dalam darah yang memprediksi perkembangan serangan jantung, strok, atau kematian pada masa depan ini adalah erythritol. Para peneliti menindaklanjutinya dengan studi lain terhadap 2.149 orang Amerika dan 833 orang Eropa.
Orang Amerika dengan tingkat sirkulasi erythritol tertinggi 80 persen, lebih mungkin mengalami serangan jantung atau strok, sementara orang Eropa dengan tingkat erythritol berat 2,2 kali lebih mungkin. Tim peneliti kemudian ke lab untuk melihat mengapa erythritol memiliki efek ini. Mereka menemukan dalam tes laboratorium bahwa erythritol tampaknya membuat trombosit lebih responsif.
“Ini seperti memberi rangsangan untuk menyebabkan trombosit menggumpal,” kata Hazen.
Alih-alih hanya menghasilkan 10 persen efeknya, tubuh justru akan mendapatkan 100 persen efeknya. “Semakin seseorang meningkatkan kadar erythritol, risiko pembekuan semakin meningkat, jadi ada alasan untuk khawatir tentang menelan jumlah yang tinggi dari hal ini,” kata Hazen.
Hazen dan timnya juga melakukan studi skala kecil pada delapan sukarelawan sehat yang diminta mengonsumsi 30 gram erythritol yang dilarutkan dalam air. Para peneliti menemukan bahwa cukup banyak erythritol yang tersisa dalam darah peserta, yang berpotensi meningkatkan risiko pembekuan darah selama dua hingga tiga hari.
Namun, para ahli lain dan Calorie Control Council mencatat bahwa studi semacam ini tidak dapat membangun hubungan sebab-akibat antara erythritol dan risiko serangan jantung atau strok.
Calorie Control Council menggarisbawahi, peneliti tidak mengevaluasi diet keseluruhan pasien sehingga penelitian mereka tidak dapat menilai faktor risiko diet lainnya. Studi tersebut juga tidak membedakan antara tingkat erythritol alami seseorang dan tingkat yang terjadi sebagai akibat dari apa yang mereka makan.