REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) menyoroti harga alat bantu dengar bagi penyandang tuna rungu di Indonesia yang masih relatif mahal. Rangkaian penanganan tuli kongenital dinilai ada missing link dalam penanganannya.
"Alat implan koklea yang diperlukan untuk bayi lahir tuli berat belum disediakan pemerintah maupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," kata Kepala Komite PGPKT Damayanti Soetjipto dalam konferensi pers Hari Pendengaran Sedunia 2023 yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Implan koklea merupakan alat bantu dengar berbasis elektronik canggih yang ditanamkan ke dalam rongga kepala. Damayanti mengatakan harga alat tersebut sekitar Rp 200 juta di pasaran.
"Tapi, di luar negeri seperti Malaysia, alat itu sudah ditanggung pemerintah," katanya.
Damayanti menyebut alat tersebut saat ini sangat dibutuhkan untuk menangani bayi baru lahir dengan risiko tuna rungu dalam mengatasi masalah pendengaran. Namun, harga yang relatif mahal di pasaran, membuat mayoritas keluarga tidak mampu kesulitan mengakses alat tersebut.
"Terpaksa anak ini (tuna rungu) tidak bisa memakai alat bantu dengar yang sesuai, sehingga dia terpaksa telantar dan jadi anak tuna rungu, tuna wicara dengan masa depan yang gemilang," katanya.
Damayanti melaporkan saat ini sekitar 5.200 anak di Indonesia terlahir dengan risiko tidak bisa mendengar. Besarnya angka tersebut membuat ketersediaan alat bantu dengar perlu menjadi perhatian pemerintah.