REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pemberitaan mengenai kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak membuat banyak pihak khawatir. Menurut psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ, berbagai kasus yang terjadi di berbagai tempat menunjukkan bahwa saat ini Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual.
Pertanyaannya, bagaimana pelaku bisa tega untuk melakukan hal tersebut? Menurut Lahargo, hal itu butuh pemeriksaan lebih lanjut. "Untuk mengetahui apa penyebabnya, perlu dilakukan pemeriksaan psikiatri terstruktur sehingga dapat diketahui profil kepribadian dan kondisi kejiwaannya," kata Lahargo kepada Republika.co.id, Jumat (10/2/2023).
Lahargo menjelaskan, perilaku kekerasan atau agresivitas adalah sebuah proses kompleks yang terjadi di dalam otak. Ada proses neurobiologis yang menyebabkan suatu perilaku kekerasan terjadi. Kerusakan pada sirkuit saraf di otak dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pada dua area otak.
Jika bagian otak pre frontal cortex terganggu, seseorang akan gagal menjalankan fungsi mengontrol perilaku dan mengendalikan diri. Begitu pun jika bagian otak amigdala terganggu. Saat ada sedikit pemicu, seseorang bisa langsung menjadi emosional. Kondisi itu berujung pada terjadinya sebuah perilaku kekerasan atau agresivitas.
Ada sejumlah hal yang dapat menyebabkan sirkuit otak terganggu dan memunculkan perilaku kekerasan. Bisa karena faktor genetik dalam keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan, adanya tumor otak atau trauma kepala, serta gangguan metabolik dan penyakit fisik.
Konsumsi alkohol dan penyalahgunaan narkoba juga dapat jadi pemicunya. Demikian pula riwayat menjadi korban kekerasan di masa silam, baik verbal, fisik, maupun seksual. Menyaksikan perilaku kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, atau lingkungan sekitar, juga bisa membuat seseorang menjadi pelaku.
Penyebab lainnya yaitu menjadi korban bullying, atau kerap terpapar konten kekerasan dari film, gim, media sosial, Youtube, serta acara televisi. Kemungkinan penyebab lain yakni stressor psikososial dalam kehidupan sehari-hari, baik itu masalah keuangan, pertengkaran, perceraian, pendidikan, atau situasi tempat tinggal yang tidak menyenangkan.
Nyatanya, siapa saja bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, tidak terpaku pada gender tertentu. Untuk mencegah perilaku kekerasan, hindarkan anak dari perlakuan kekerasan. Lahargo menganjurkan memberikan pendidikan seksual pada anak, juga identifikasi dini dan penanganan pada anak yang melakukan perilaku kekerasan.
Perhatikan pula paparan media seperti televisi, internet, media sosial, gim, hingga film. Jangan sampai, berbagai paparan itu memuat sesuatu yang mengandung konten kekerasan atau bernuansa seksual. Libatkan anak dalam aktivitas fisik yang positif, seperti olahraga, musik, organisasi, dan kegiatan kerohanian. Komunikasi dan kedekatan antara orang tua dan anak pun sangat penting.
Menurut Lahargo, orang tua memegang peran penting terhadap munculnya perilaku kekerasan oleh anak. Ayah dan ibu perlu memastikan anak tidak terpapar oleh berbagai peristiwa atau tontonan kekerasan yang dapat mengganggu otaknya sehingga muncul perilaku yang tidak diharapkan.
Orang tua diharap bisa memberikan kasih sayang dan ikatan emosi yang baik dengan anak. Tingkatkan pula kualitas dan kuantitas komunikasi dengan anak sehingga orang tua dapat menjadi tempat anak berbagi saat mereka mengalami kesulitan, kebingungan, dan merasa frustrasi dalam hidupnya. "Sekolah, lingkungan, dan masyarakat sekitar pun punya tugas yg sama," ujar Lahargo.