REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara telah berusaha memperketat cengkeramannya pada kontrol budaya kepada warga negaranya. Dalam upayanya untuk menghentikan dari pengaruh kapitalis Korea Selatan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah keras akhir-akhir ini.
Dilansir Korea Boo pada Sabtu (21/1/2023), setelah melarang drama dan musik Korea Selatan, target terbaru pemerintah adalah bahasa. Di Korea Utara, mengonsumsi produk Korea Selatan, baik itu teknologi, kosmetik, intelektual, atau budaya telah dilarang keras selama beberapa dekade. Namun, bahkan di tengah cengkeraman kendali yang kuat, orang Korea Utara sering berhasil membajak lagu, film, dan drama dari Korea Selatan, kemudian mengonsumsinya secara diam-diam.
Namun, menurut laporan, sejak 2021, pemerintah Kim Jong-un semakin tidak aman dengan meningkatnya perbedaan pendapat di kalangan anak muda Korea Utara. Beberapa percaya bahwa infiltrasi konten dari dunia luar telah "merusak" pikiran anak muda. Karena itu, untuk mengekang suara mereka, rezim mulai menerapkan hukuman kejam bagi orang-orang yang berani dipengaruhi oleh budaya global. Baru-baru ini, dunia diguncang oleh berita rezim yang secara terbuka mengeksekusi dua remaja karena menonton dan mendistribusikan drama Korea Selatan.
Kini, Majelis Rakyat Tertinggi Korea Utara telah memberlakukan undang-undang baru untuk melindungi dialek Pyeongyang, dialek standar Korea Utara. Dengan begitu, mereka dapat menghambat penyebaran dialek Korea Selatan di kalangan masyarakat umum. Menurut Kantor Berita Pusat Korea Utara, undang-undang baru itu bertujuan untuk membasmi elemen anti-normatif, serta melindungi dan secara aktif melestarikan dialek Pyongyang.
Seorang pembelot Korea Utara menjelaskan bahwa banyak orang di Utara menghabiskan waktu dengan asyik menonton K-drama, sehingga mereka cenderung memahami dialek Selatan secara tidak sadar. Pada 2021, laporan menyatakan, rezim Korea Utara telah menindak kaum muda yang berpakaian gaya Selatan atau berbicara dengan cara Selatan, termasuk istri yang memanggil suami mereka dengan 'Oppa' (sayang, panggilan untuk kakak laki-laki dari adik perempuan). Jika kematian remaja tersebut merupakan indikasi, undang-undang baru ini hanya akan mendorong batas kebrutalan rezim terhadap publik.