REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Mayoritas orang berpikir bahwa dunia perlu menerapkan aturan yang mengikat untuk mengatasi masalah polusi plastik, menurut hasil penelitian terbaru yang dirilis World Wide Fund for Nature (WWF) dan Plastic Free Foundation pada Rabu (23/11/2022). Penelitian yang dilakukan dua LSM internasional tersebut menunjukkan bahwa rata-rata tujuh dari 10 orang yang disurvei di 34 negara percaya bahwa perjanjian plastik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus membuat aturan global yang mengikat untuk mengakhiri polusi plastik.
Survei itu dirilis menjelang negosiasi perdana tentang perjanjian plastik global yang akan dimulai pada 28 November 2022 di Uruguay, dengan menyurvei 23.029 responden secara daring.
"Survei ini adalah bukti lebih lanjut bahwa ada permintaan publik yang luas dan luar biasa untuk perjanjian polusi plastik global yang ambisius, yang membuat pemerintah dan perusahaan lebih bertanggung jawab atas plastik yang mereka hasilkan," kata pendiri dan direktur eksekutif Plastic Free Foundation Rebecca Prince-Ruiz.
WWF mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kegagalan perunding pada perjanjian yang ambisius itu akan melanjutkan tren tanggapan pemerintah yang tidak efektif terhadap masalah polusi plastik global. "Selama periode negosiasi dua tahun saja, jumlah total polusi plastik di lautan diperkirakan meningkat sebesar 15 persen. Saat ini, lebih dari 2.000 spesies hewan telah menghadapi polusi plastik di lingkungannya, dan hampir 90 persen spesies yang diteliti diketahui terkena dampak negatif," kata WWF.
Kepalakebijakan plastik global WWF International Eirik Lindebjerg mengatakan, orang-orang bingung dan frustrasi atas tanggapan yang kompleks dan kontradiktif terhadap polusi plastik, dan bahwa survei tersebut menunjukkan dukungan yang sangat besar dan perlunya peraturan global yang kuat di lapangan.
"Pada 2025, kita harus memiliki perjanjian yang mengikat dan efektif untuk mengakhiri polusi plastik," ujar dia.