Kamis 10 Nov 2022 16:50 WIB

Infeksi Virus dan Bakteri Jadi Penyebab Utama Diare pada Anak

Infeksi virus rotavirus menjadi kasus yang paling sering sebabkan diare.

Infeksi virus dan bakteri menjadi penyebab utama diare pada anak.
Foto: www.pixabay.com
Infeksi virus dan bakteri menjadi penyebab utama diare pada anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis anak dari Pusat Kesehatan Ibu dan Anak Nasional RSAB Harapan Kita dr Syahminar Rahmani, SpA, mengatakan bahwa infeksi merupakan penyebab diare paling sering yang terjadi pada anak-anak di antara penyebab-penyebab lainnya.

"Penyebab diare bisa bermacam-macam, banyak. Paling sering adalah infeksi. Infeksi bisa virus, bakteri, parasit. Paling sering infeksi itu adalah rotavirus. Untuk di bawah usia 2 tahun kurang lebih 90 persen penyebab diarenya karena infeksi rotavirus," kata Syahminar dalam bincang virtual yang diikuti di Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Baca Juga

Dia juga mengatakan, kondisi diare akut paling sering dialami anak-anak. Diare akut ini, imbuh Syahminar, paling sering karena infeksi rotavirus dan biasanya terjadi perbaikan kondisi kurang dari tujuh hari.

"Yang disebut akut itu kalau diarenya terjadi kurang dari 14 hari. Kalau yang disebut kronik adalah diarenya terjadi lebih dari 14 hari. Kadang ada diare yang tidak teratasi dengan baik, maksudnya diare akut yang tidak teratasi dengan baik, itu bisa berlanjut jadi diare kronik," katanya.

Syahminar mengatakan, vaksinasi rotavirus menjadi salah satu metode pencegahan untuk diare. Berdasarkan penelitian meta analisis di banyak negara, imbuh dia, vaksin rotavirus bisa mencegah diare kurang lebih 45 hingga 90 persen. Selain infeksi, diare juga bisa disebabkan oleh alergi karena mengonsumsi makanan tertentu.

Menurut pengalaman Syahminar, alergi yang jamak menyebabkan diare pada anak misalnya karena mengonsumsi susu sapi. Namun dia mengingatkan orang tua tidak perlu khawatir karena biasanya alergi susu sapi bisa hilang dalam jangka waktu tertentu.

"Kalau sudah terbukti alergi susu sapi, dengan dua minggu eliminasi kemudian dicoba lagi dan ternyata betul alergi, ada gejala. Nah, (setelah itu) setop dulu 6 bulan. Kemudian nanti kita kasih lagi susu sapinya. Setelah itu biasanya ada perbaikan. Ada juga yang tidak, itu harus disetop lagi dulu, pelan-pelan saja," katanya.

Syahminar menjelaskan, kondisi diare ditandai dengan buang air besar (BAB) dengan konsistensi lebih cair atau lunak, frekuensi lebih dari atau sama dengan tiga kali dalam 24 jam, dan jumlah yang lebih banyak dibanding biasanya.

Akan tetapi, dia mengingatkan, anak dengan frekuensi BAB lebih dari tiga kali sehari juga belum tentu dikatakan diare. Kondisi tersebut harus ditilik lebih jauh, apakah tumbuh-kembang anak baik hingga bagaimana kondisi klinis sang anak.

"Ada hal-hal yang harus kita perhatikan juga. Anak yang BAB-nya tiga kali sehari dan tumbuhnya bagus malah itu belum tentu diare. Karena memang pola BAB tiap orang kan macam-macam, ada yang bisa dua kali sehari tapi orangnya biasa saja," katanya.

Orang tua juga perlu memiliki sikap kehati-hatian dalam menilai BAB dengan konsistensi lebih cair pada bayi di bawah usia satu tahun.

Menurut Syahminar, hal tersebut biasanya terjadi karena efek bayi yang masih mengonsumsi ASI. Dia mengatakan ASI mengandung efek pencahar sehingga cairan tersebut dapat diserap sempurna oleh usus.

"Kita harus lihat, kalau anaknya baik-baik saja dan tidak ada perubahan dari jumlah atau frekuensi BAB per harinya, kita masih belum bisa bilang itu diare," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement