REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- masyarakat khususnya orang tua diminta untuk mewaspadai gagal ginjal akut misterius yang terjadi pada anak. Spesialis Anak RSUP Dr. Sardjito, Kristia Hermawan mengatakan, orang tua diminta untuk melakukan deteksi dini kesehatan anak, terutama yang memiliki anak usia di bawah lima tahun.
Deteksi dini tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan memperhatikan adanya gejala penurunan frekuensi atau volume urin. Pasalnya, salah satu gejala gagal ginjal akut misterius yakni berkurangnya volume urine, bahkan tidak bisa buang air kecil.
"Dipantau pipisnya, juga kepekatan urinnya. Kalau urinenya berwarna pekat, artinya kurang cairan," kata Kristia di Gedung Administrasi RSUP Dr. Sardjito, Sleman, Rabu (19/10/2022).
Jika ditemukan adanya gejala tersebut, diharapkan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terdekat. Hal ini untuk memastikan kondisi dan agar mendapatkan penanganan segera jika menderita gagal ginjal akut misterius.
Di DIY sendiri sudah dilaporkan 13 kasus gangguan ginjal akut ini. Seluruhnya ditangani di Sardjito. Dengan enam kasus di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Sedangkan tiga kasus dilaporkan sembuh dan empat kasus lainnya masih dalam perawatan.
Kristia menyebut, kasus gangguan ginjal akut yang masuk ke Sardjito merupakan kasus dengan derajat berat dan memiliki variabel yang berbeda-beda. Selain itu juga disertai dengan gangguan pada fungsi organ lainnya. Bahkan, ada yang meninggal disertai dengan Covid-19.
"Yang meninggal, ada yang dua atau tiga hari (dirawat) sudah meninggal. Ada yang 10 hari di ICU bisa turun ke bangsal (karena kondisi membaik). Ada juga di ICU saat ini di hari kelima belum stabil kondisinya, masih membutuhkan terapi pengganti ginjal yang kontinyu. Variabel kasusnya masih beragam," ujarnya.
Sementara itu, Pakar Neurologi Anak RSUP Dr Sardjito, Retno Palupi juga meminta untuk mewaspadai gejala gangguan ginjal akut misterius pada anak lainnya. Seperti demam, batuk dan pilek. "Selain itu munculnya gejala diare dan batuk pilek perlu pula diwaspadai," kata Palupi.
Terkait dengan penurunan frekuensi urine, ia menekankan agar hal ini dapat menjadi perhatian yang lebih khususnya bagi orang tua. Sebab, kata Palupi, sering orang tua tidak menyadari terjadi penurunan frekuensi urin pada anak sejak dini, sehingga saat anak dibawa ke rumah sakit sudah dalam kondisi yang berat.
"Gejala awal tidak kencing atau berkurang, misalnya volume urine dalam delapan jam, 16 jam atau 24 jam baru orang tua menyadari hal ini. Diimbau orang tua melihat volume kencing anak (sejak dini), misalnya kencing yang ada di pampers (diapers) kurang atau tidak ada," ujarnya.