REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Inggris melaporkan temuan terbarunya dalam kasus hepatitis misterius yang menginfeksi anak-anak. Mereka menemukan masalah hati yang serius terkait dengan koinfeksi dua virus umum, tetapi bukan virus corona.
WHO melaporkan setidaknya 1.010 kemungkinan kasus, termasuk 46 yang memerlukan transplantasi dan 22 kematian akibat penyakit ini sejak Oktober 2021 lalu. Teori sebelumnya berpusat pada akibat dari infeksi adenovirus yang umum ditemukan di balik kasus tersebut.
Namun, dalam dua penelitian baru yang dilakukan secara independen dan simultan di Skotlandia dan London, para ilmuwan menemukan virus lain, AAV2 (virus terkait adeno 2), memainkan peran penting dan hadir pada 96 persen kasus dari semua pasien yang diperiksa.
AAV2 biasanya tidak diketahui penyebabnya dan tidak dapat mereplikasi dirinya sendiri tanpa adanya virus ‘penolong’ lain. Kedua tim menyimpulkan penyebab hepatitis misterius ini paling mungkin karena koinfeksi AAV2 ‘ditolong’ adenovirus atau bisa juga virus herpes HHV6.
“Kehadiran virus AAV2 dikaitkan dengan hepatitis misterius pada anak-anak,” kata Profesor Penyakit Menular dari University of Glasgow yang juga memimpin makalah Skotlandia, Prof Emma Thomson, dilansir dari Science Alert, Rabu (27/7/2022).
Namun, dia juga memperingatkan bahwa ini masih belum pasti, apakah AAV2 menyebabkan penyakit tersebut atau lebih merupakan biomarker untuk infeksi adenovirus yang mendasarinya, di mana adenovirus lebih sulit dideteksi tetapi merupakan patogen utama.
Kedua makalah telah diposting online ke server pracetak dan masih menunggu peer review sebelum diterbitkan di jurnal. Dua penelitian itu mengamati pasien yang tertular hepatitis dan yang tidak, mereka menemukan bahwa AAV2 sebagian besar hadir pada mereka yang tertular, dan tidak hadir pada mereka yang tidak tertular.
Studi di Skotlandia lebih lanjut menguji gen anak-anak yang sakit dan yang tidak, mengasah perbedaan dalam Antigen Leukosit Manusia mereka yang mungkin menjelaskan mengapa beberapa anak lebih rentan dibanding yang lain. Kedua tim tidak melihat apakah mereka sudah pernah terinfeksi SARS-CoV-2 atau belum.
Tidak ada virus corona yang ditemukan di hati pasien, sementara penelitian di Skotlandia menemukan bahwa dua pertiga pasien memiliki antibodi terhadap virus corona, angka itu mirip dengan prevalensi populasi keseluruhan di antara anak-anak pada waktu itu. Tidak jelas mengapa kasus hepatitis melonjak baru-baru ini, tetapi kedua tim menggarisbawahi kemungkinan akibat dari lockdown yang dapat berkontribusi, baik itu membuat kekebalan pada anak turun atau mengubah pola sirkulasi virus.
“Saya pikir ini adalah penjelasan yang masuk akal untuk kasus-kasus ini. Sepertinya koinfeksi adalah kuncinya,” ungkap salah seorang Profesor Hepatologi Pediatrik di University of Birmingham, Deirdre Kelly, di tempat lainnya.
Namun, masih perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami mengapa beberapa anak mengembangkan penyakit parah dan memerlukan transplantasi. Perlu juga untuk memahami lebih lanjut tentang sirkulasi musiman AAV2 yang tidak dipantau secara rutin.