REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demensia adalah salah satu risiko paling menakutkan yang terkait dengan penuaan. Menurut CDC, kondisi itu mempengaruhi hampir 5,6 juta orang Amerika di atas usia 65 tahun. Saat ini, tidak ada obat untuk semua jenis demensia, termasuk Alzheimer.
Para peneliti dan pakar kesehatan bekerja untuk membantu mereka yang sudah memiliki kondisi tersebut, sambil secara bersamaan mencoba memahami bagaimana penyakit itu muncul dengan sendirinya. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan tanda penting yang dapat berfungsi memprediksi demensia sehingga dapat membantu penyedia layanan kesehatan melakukan intervensi lebih awal. Para peneliti terus menjalankan studinya untuk meningkatkan proses diagnosis Alzheimer.
Mendiagnosis Alzheimer menghadirkan tantangan yang unik, dan secara historis, para profesional medis hanya mampu memberikan diagnosis konkret ketika memeriksa otak pasien setelah kematian. Menurut Mayo Clinic, sekarang ada cara memungkinkan untuk mendiagnosis demensia dengan lebih pasti saat pasien masih hidup, berkat tes baru yang memeriksa biomarker, yang merupakan tanda-tanda kondisi itu.
Dokter dan peneliti dapat melakukan pemindaian PET, yakni tes pencitraan yang memeriksa demensia, atau dengan menguji plasma cairan tulang belakang serebral untuk mengukur kadar protein amiloid dan protein. Dilansir dari BestLife Online, Ahad (29/5/2022), sebuah studi baru telah mengidentifikasi satu faktor risiko yang bisa menjadi pendekatan yang kurang invasif untuk diagnosis dini. Jika seseorang kehilangan salah satu indra utamanya, itu bisa menjadi tanda peringatan yang serius.
Kehilangan indra penciuman adalah sesuatu yang banyak dari kita takuti di tengah pandemi Covid-19, karena itu pernah menjadi salah satu gejala virus. Namun, kehilangan penciuman juga bisa menjadi tanda peringatan dini bahwa seseorang berisiko terkena Alzheimer.
Sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan dalam Journal of Alzheimer's Disease memberikan bukti tambahan bahwa kehilangan penciuman adalah tanda peringatan untuk mild cognitive impairment (MCI) yang terkait dengan Alzheimer. Faktanya, untuk setiap unit yang lebih rendah, skor pasien pada Tes Identifikasi Bau Sniffin' Sticks, risiko mengembangkan MCI melonjak hingga 22 persen.
Sementara tidak semua orang yang mengembangkan Alzheimer memiliki MCI, penurunan kognitif yang lebih ringan sering mendahului kondisi tersebut. Penelitian sebelumnya telah mengaitkan hilangnya penciuman dan Alzheimer.
Data yang dipublikasikan di Biosensors pada 2018 menemukan bahwa indra penciuman memburuk saat pasien berkembang dari MCI ke penyakit Alzheimer. Akibatnya, para peneliti menyarankan untuk menetapkan disfungsi penciuman sebagai cara untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko terkena Alzheimer, bahkan sebelum gejala MCI muncul (juga dikenal sebagai tahap praklinis).
Para ahli percaya anosmia terjadi karena sistem penciuman memiliki mekanisme perbaikan diri yang terbatas, yang membuatnya lebih rentan terhadap kerusakan akibat Alzheimer. Hal ini mungkin menjelaskan hilangnya penciuman merupakan tanda peringatan dini untuk MCI dan akhirnya Alzheimer karena terikat erat dengan tingkat dan perkembangan kerusakan neuropatologis.