Jumat 29 Jul 2022 10:31 WIB

Penelitian: 27 Juta Orang di Dunia Masih Alami Anosmia Setelah Mengidap Covid-19

Kasus anosmia berkepanjangan dianggap sebagai krisis kesehatan baru.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Kasus anosmia berkepanjangan dianggap sebagai krisis kesehatan baru.
Foto: www.freepik.com.
Kasus anosmia berkepanjangan dianggap sebagai krisis kesehatan baru.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian menunjukkan sebanyak lima persen orang masih mengalami kehilangan fungsi indra penciuman atau perasa (anosmia) setelah mengidap Covid-19. Menurut seorang ahli, kondisi tersebut dapat dianggap sebagai krisis kesehatan masyarakat baru.

Sekitar lima persen pasien yang pernah terkena Covid-19 artinya sekitar 27 juta orang di seluruh dunia. Jumlah tersebut berdasarkan analisis yang diterbitkan di The BMJ (jurnal medis peer-review dari British Medical Association), di mana para peneliti mengevaluasi 18 studi.

Baca Juga

Tim meninjau kasus kehilangan bau dan rasa di beberapa benua dan dalam berbagai kelompok demografis. Sekitar tiga perempat dari pasien yang terimbas mendapatkan kembali indranya dalam waktu 30 hari. Tingkat pemulihan meningkat dari waktu ke waktu, tetapi sekitar lima persen orang melaporkan "disfungsi persisten" enam bulan setelah infeksi Covid-19.

Analisis menunjukkan hilangnya penciuman dan rasa bisa menjadi masalah berkepanjangan. Kasus tersebut membutuhkan lebih banyak penelitian dan sumber daya kesehatan untuk pasien yang berjuang dengan gejala jangka panjang. Data dari hampir 3.700 pasien di Amerika Utara, Eropa, dan Asia dimasukkan dalam analisis. 

Riset mencatat bahwa perempuan cenderung tidak mendapatkan kembali fungsi indra penciuman dan indra pencecap mereka daripada pria. Pasien dengan hidung tersumbat yang lebih besar juga lebih kecil kemungkinannya untuk sembuh.

Analisis menunjukkan peningkatan yang stabil dalam proporsi pasien yang memulihkan indra penciumannya dari waktu ke waktu.  Setelah 30 hari, sekitar 74 persen pasien sembuh. Usai 90 hari, jumlah itu naik menjadi 90 persen. Setelah enam bulan, sekitar 96 persen pasien mengatakan mereka bisa membaui lagi.

Kehilangan penciuman telah dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi pada orang dewasa yang lebih tua dan telah terbukti memiliki dampak besar pada kesejahteraan emosional dan psikologis. Hal itu disampaikan ahli rinologi di Universitas Stanford, Zara Patel, yang tidak terlibat dalam penelitian The BMJ.

"Aroma mendasari cara berinteraksi satu sama lain dan membuat jalan manusia di dunia, mendikte kesan pertama Anda tentang orang lain, orang yang kita pilih untuk pertemuan seksual atau untuk pasangan seumur hidup," kata Patel, dikutip dari laman NBC News, Jumat (29/7/2022).

Ahli rinologi di UW Medicine Sinus Center di Seattle, Aria Jafari, mengatakan sekitar setengah dari pasiennya yang kehilangan indra penciumannya kemungkinan memiliki Covid-19 di beberapa titik. Banyak yang mengalami dampak dramatis pada kesejahteraan mereka karena kehilangan fungsi tersebut.

Jafari mengatakan mereka cenderung bingung tentang hilangnya indra penciuman. Ini adalah bagian penting dari kehidupan setiap hari dan apa yang membuat kita menjadi manusia. Profesi sebagai koki profesional, pembuat cokelat, dan lainnya bergantung pada kemampuan mreka untuk menentukan bau dan rasa.  

"Hal paling umum yang saya dengar adalah bahwa itu mengarah pada isolasi sosial dan perasaan terputus dari dunia dan masyarakat seperti yang mereka ketahui. Dan itu bisa sangat mengganggu," ungkap Jafari.

Banyak pasien menggambarkan masa transisi yang menyusahkan ketika indra mereka kembali. Ada pasien yang mencium hal-hal yang tidak ada, seperti karet terbakar, aroma asap, atau bau busuk yang tidak normal. Orang yang tidak dapat mencium atau mencecap rasa dapat memiliki tingkat penyakit kejiwaan, depresi, dan kecemasan yang lebih tinggi. Dalam kasus ekstrem, pasien bisa mengalami kekurangan gizi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement