REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Sosiolog Universitas Udayana, Bali Wahyu Budi Nugroho, mengatakan, karakter ambisius dan kompetitif pada diri anak muda atau generasi milenial rentan menyebabkan terjebak pada hustle culture. "Hustle culture sebetulnya berkaitan dengan karakter generasi milenial yang percaya diri, kompetitif, dan ambisius. Karakter itu sangat rentan dimanfaatkan oleh atasan untuk mengejar target dan capaian-capaian tertentu jadi pekerja muda terjebak pada hustle culture," kata dia, di Denpasar, Senin (13/12).
Ia menjelaskan, ada beberapa hal bisa menyebabkan munculnya hustle culture, antara lain mulai dari tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari yang mengharuskan untuk bekerja keras agar mendapatkan bonus atau insentif tambahan. Jika anak-anak muda dihadapkan pada situasi yang mengharuskan memperoleh penghasilan tambahan, termasuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tetapi juga orang tua serta saudara-saudaranya, bisa menjadi faktor munculnya hustle culture tersebut.
Selanjutnya, anak-anak muda yang diharuskan terus-menerus menunjukkan performa kerja prima kepada atasan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kekhawatiran dan perasaan rentan akan PHK jika performa kerja dinilai menurun.
"Sebaiknya, para pekerja muda ini memahami kembali filosofi kerja delapan jam sehari yang diterapkan sejak awal abad ke-20. Dalam sehari ada 24 jam, artinya delapanjam untuk bekerja, delapan jam untuk beristirahat, dan delapan jam untuk melakukan apa pun yang diinginkan (refreshing)," katanya.
Menurut Wahyu, ketika pekerja muda bekerja lebih dari delapan jam sehari, itu justru merugikan diri sendiri. Sebab, dalam ilmu ekonomi ada yang disebut dengan surplus value atau nilai lebih, artinya pekerja bekerja atau melakukan proses produksi secara cuma-cuma tanpa dibayar di luar jam itu.
"Harus diakui memang, di masa pandemi ini, cara kerja yang banyak berlaku adalah WFH, semakin sulit untuk memisahkan antara pembagian waktu di atas delapanjam kerja, delapan jam istirahat, dan delapan jam refreshing. Untuk itu, kedisiplinan diri diperlukan agar bisa bekerja secara proporsional dan tidak berlebihan," katanya.
Kondisi ini sekaligus mengingatkan pada paradigma kerja kontemporer yang menyatakan bahwa baiknya kualitas hidup para pekerja berdampak positif terhadap produktivitasnya.