Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi Covid-19 atau azitromisin dengan levofloksasin.
"Semuanya sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan," ujar Zullies.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Dokter HOAX!!
Yg tidak tahu patofisiologi dan tidak tahu membaca interaksi antar obat.
Tidak tahu bhw pemberian obat lebih dari 6 macam,double antibiotik dan double dosis antivirus akan menyebabkan mucus menjadi kental lalu pakai Ventilator yg mendorong Mucus menyumbat alveoli!! pic.twitter.com/IE4H1IjJio
— dr.Lois@Anti Aging medicine (@LsOwien) July 9, 2021
Salah satu unggahan dr Lois Owien di Twitter
Zullies kemudian mencontohkan interaksi obat yang menyebabkan penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya.
Menghindari interaksi obat
Zullies menyebut, ada sejumlah penyakit yang harus menggunakan kombinasi obat dalam terapinya. Untuk itu, perlu dipilih obat yang memiliki risiko interaksi terkecil.
Banyak buku-buku teks tentang interaksi obat yang dapat digunakan sebagai panduan dalam memilih obat yang akan dikombinasikan untuk meminimalkan interaksi obat. Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis.
"Yang artinya, aman-aman saja untuk dikombinasikan atau digunakan secara bersamaan."
Zullies menjelaskan bahwa pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya. Mekanisme interaksi obat itu sendiri bisa melibatkan aspek farmakokinetik (memengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).
Mengingat dampak interaksi obat tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, maka solusi yang diberikan untuk mengatasi tiap kasus tentu berbeda. Itu berarti interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian.
Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan. Dengan begitu, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, misal menghentikan atau mengganti obatnya.
"Dan hal ini menunjukkan juga perlunya kerjasama antartenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien (dokter, perawat, hingga apoteker) sehingga dapat memantau terapi dengan lebih cermat, sehingga tidak berdampak membahayakan bagi pasien," ungkap Zullies.