Ahad 04 Jul 2021 16:26 WIB

Trik Restoran di Thailand Berhemat Bahan Pangan

Berhemat bahan pangan berarti menghemat sampah yang berdampak pada iklim.

Makanan
Foto:

Komunikasi penting

Di hotel tempat Bucher bekerja, ada enam restoran yang menyediakan makanan spesial. Selain itu, juga ada bagian prasmanan dengan stasiun pemasakan tersendiri. Kadang hanya perlu perencanaan sedikit, agar bisa mengurangi sampah bahan pangan hingga seminimal mungkin.

Ia mengambil contoh telur. Telur yang dimasak untuk tapi tersisa, bisa dimasukkan ke masakan yang biasanya disukai orang untuk makan siang.

Jadi untuk itu tidak perlu masak telur lagi. Masalahnya hanyalah, telur untuk sarapan biasanya  dimasak di seksi masakan Barat, sementara masakan untuk makan siang dimasak di seksi Cina. Tapi untuk itu hanya perlu komunikasi. 

“Ini telur dari sarapan saya berikan ke kalian."

Dengan trik semacam itu, Bucher dan timnya berhasil mengurangi sampah bahan pangan sebanyak 50 persen dalam dua tahun. Ini memang sebuah tantangan. Banyak hal harus diubah dan dipelajari lagi.  "Tapi jika sudah berfungsi sekali, ini jadi mudah, dan berfungsi seperti otomatis."

Pengecekan secara teratur juga penting

Sebulan sekali diuji, sebaik apa tindakan yang sudah diambil. Kemudian Bucher beserta timnya melihat sisa makanan yang mana, tersisa setiap hari. Juga apa yang bisa dimasak dari yang tersisa.

"Misalnya ikan salmon yang dipanggang dengan garam. Kami ambil kepalanya, dan kami buat sup. Itu digunakan untuk sup sarapan ala Jepang.“ Potongan daging ikan salmon bisa diolah lagi untuk makan malam, di mana kami akan buat pasta dengan ikan salem serta bayam."

Segalanya yang masih bisa dinikmati, tapi tidak bisa disajikan lagi, akan disumbangkan ke sebuah LSM. Staf mereka setiap hari menjemput sisa makanan, dan membagikannya ke warga yang membutuhkan di seluruh kota.

Makanan yang mudah rusak dibuang

Hanya makanan yang mudah rusak, misalnya yang berisi ikan atau krim dibuang. Tapi sebelumnya, semua dicatat dan ditimbang.

Dengan ditimbang, timnya bisa melihat, apa dan sebanyak apa yang mereka buang. Mereka juga membuat laporan bulanan. “Ketika kami memikirkan langkah untuk aksi berikuntya, kami menggunakan data ini, untuk melihat di mana kami harus menghemat, dan di mana ada masalah."

Tangani masalah pangan dengan data

Mengumpulkan data sebagai dasar penanganan masalah. Juga dengan cara itu, Jerman ingin membantu Thailand mengurangi sampah bahan pangannya. Untuk itu GIZ membiayai penelitian, di mana sampah dari sekitar 400 rumah tangga dari seluruh Thailand dianalisa.

Sejauh ini, tidak ada data semacam itu, juga karena biaya pembuangan sampah di Thailand ditarik secara rata-rata, dan tidak berdasarkan volume dan bobot.

Werner Kossmann dari organisasi bantuan Jerman, GIZ di Thailand mengatakan bagian makanan yang dibuang bukan hanya pemborosan namun juga menimbulkan bencana bagi iklim. "Kami ingin tahu, sampah mana sudah dipilah, dan ke mana sampah dibawa, juga apa yang terjadi kemudian." Data ini akan membantu menemukan solusi, agar sisa makanan tidak mendarat di tong sampah. Karena makanan yang dibuang bukan hanya pemborosan, melainkan juga bencana bagi iklim. 

Perusak iklim paling berbahaya

Werner Kossmann menambahkan, saat pembusukan, semua bahan organik melepas gas metana. Gas itu 25 kali lebih berbahaya bagi iklim daripada CO2. Dengan demikian, tempat penampungan sampah jadi perusak iklim paling berbahaya - terutama di negara-negara berkembang, di mana teknik daur ulang modern dan pembuatan kompos belum ada. 

Bagi Daniel Bucher, solusinya sudah tersedia. “Kita kerap mendiskusikan apa yang harus dilakukan dengan sampah ini. Itu diskusi penting.“ Tapi ia menyarankan, kita harus lebih banyak berdiskusi lagi, tentang cara agar tumpukan sampah tidak terbentuk sama sekali.

 

 

 

sumber: https://www.dw.com/id/cara-jitu-menghemat-sampah-makanan/a-57960674

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement