REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memiliki waktu tidur yang berkualitas, cukup sulit didapatkan di tengah semua kecemasan semasa pandemi. Akan tetapi, hal tersebut perlu diupayakan demi mencegah penyakit berbahaya.
Bukan cuma kurang tidur yang dilarang, terlalu banyak terlelap juga tidak dianjurkan. Studi yang dilakukan Pusat Medis Universitas Boston pada 2017 menemukan dampak dari orang yang kerap tidur berlebihan.
Menurut studi itu, orang yang tidur sembilan jam atau lebih melipatgandakan risiko mengidap demensia. Temuan tersebut jika dibandingkan dengan peserta studi yang tidurnya kurang dari waktu tersebut.
Demensia yang biasa disebut pikun dalam gejala awam, membuat pengidapnya berpotensi mengalami penurunan fungsi otak. Efeknya mengimbas memori, kemampuan berpikir, dan aspek sosial.
Menurut Mayo Clinic, gejala demensia antara lain kehilangan memori, sulit bicara, sukar menyelesaikan masalah, serta susah mengorganisir perubahan kognitif. Secara psikis, memicu depresi serta perubahan kepribadian.
Penelitian yang dimuat dalam jurnal Neurology itu menganalisis hasil studi Framingham Heart yang menghitung waktu tidur 2.457 partisipan selama 10 tahun. Periset melihat berbagai dampak dari durasi tidur.
Frekuensi waktu tidur tersebut dikaitkan dengan risiko demensia dan penuaan otak. Di antara ribuan responden, total terdapat 234 kasus demensia sejak awal penelitian hingga akhir satu dekade.
"Waktu tidur yang terlalu lama bisa menjadi penanda degenerasi saraf dini. Ini alat klinis yang berguna untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko tinggi mengalami demensia," kata penulis studi, Sudha Seshadri.
Profesor neurologi itu mengatakan, latar belakang pendidikan juga memengaruhi hasil akhir penelitian. Partisipan yang tidak lulus SMA dan tidur sembilan jam, berisiko enam kali lebih besar mengidap demensia.