Jumat 18 Dec 2020 23:27 WIB

Anak Masih Ngompol Saat Tidur, Perlukah Periksa ke Dokter?

Kenali karakteristik anak mengompol yang harus diperiksakan ke dokter.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Anak mengompol (Ilustrasi). Butuh waktu sekitar empat tahun untuk anak mulai bisa mengontrol berkemih saat dia bangun dan saat dia tidur.
Foto: Pixabay
Anak mengompol (Ilustrasi). Butuh waktu sekitar empat tahun untuk anak mulai bisa mengontrol berkemih saat dia bangun dan saat dia tidur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbeda dengan orang dewasa, berkemih pada anak-anak merupakan bagian dari proses tumbuh kembang. Oleh karena itu, mengompol saat tidur masih diasumsikan sebagai hal yang normal hingga anak mencapai usia tertentu.

"Butuh waktu sekitar empat tahun untuk anak mulai bisa mengontrol berkemih saat dia bangun dan saat dia tidur," ungkap Kepala Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Dr dr Irfan Wahyudi SpU(K), dalam konferensi pers virtual dalam rangka Pertemuan ilmiah Tahunan Asosiasi Urologi Indonesia.

Baca Juga

Dengan kata lain, mengompol saat tidur masih dianggap normal bila terjadi pada anak di bawah usia lima tahun. Akan tetapi, orang tua perlu berkonsultasi dengan dokter bila kebiasaan mengompol saat tidur ini masih terjadi ketika anak sudah berusia lebih dari lima tahun. Ketidakmampuan untuk menahan pengeluaran urine saat tidur ini dikenal sebagai enuresis.

"Kalau anaknya bisa terbangun (dari tidur malam) kemudian pipis, itu nokturia, tapi kalau ngompolnya saat tidur, itu masuknya enuresis," jelas Irfan.

Enuresis pada dasarnya merupakan kondisi di mana anak berusia lebih dari lima tahun mengompol di malam hari saat tidur. Akan tetapi, tidak teradapat kelainan saraf atau anatomi yang mendasari hal tersebut.

Ada dua jenis enuresis, yaitu enuresis primer dan enuresis sekunder. Kebiasaan mengompol saat tidur malam yang berlangsung sejak anak lahir hingga berusia lebih dari lima tahun disebut sebagai enuresis primer.

Pada enuresis sekunder, anak sempat berhenti mengompol setidaknya selama enam bulan. Akan tetapi, setelah itu anak tiba-tiba kembali mengompol.

"Kalau enuresis sekunder kita perlu hati-hati, karena mungkin ada faktor komorbid, ada kelainan penyerta," kata Irfan.

Bila dibiarkan begitu saja, enuresis dapat memberikan dampak pada perkembangan anak. Beberapa di antaranya adalah gangguan emosi, gangguan sosial, menurunnya kepercayaan diri, gangguan tidur, potensi gangguan pada kesehatan, serta penarikan diri dari lingkungan.

"Kalau ada acara di sekolah atau dengan teman-teman yang perlu menginap, tentu dia akan menarik diri, merasa minder, tidak percaya diri," ujar Irfan.

Enuresis pada anak bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko dan penyerta. Faktor-faktor risiko dan penyerta ini meliputi gangguan psikologi, retardasi mental, gangguan perkembangan, gangguan tidur, pembesaran amandel, dan masalah buang air besar.

Di samping itu, riwayat keluarga juga turut mempengaruhi kecenderungan enuresis pada anak. Bila salah satu dari orang tua pernah mengalami enuresis di masa lalu, anak akan memiliki risiko 44 persen untuk mengalami enuresis.

"Kalau kedua orang tua ada riwayat enuresis, risiko (enuresis) naik jadi 77 persen," kata Irfan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement