REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Temuan mengejutkan terungkap dalam sebuah studi yang terbit di jurnal The Lancet Psychiatry. Para peneliti dalam riset tersebut mendapati 20 persen pasien yang sembuh dari Covid-19 didiagnosis mengidap penyakit mental.
Riset melibatkan 62.354 pasien yang tertular virus corona antara 20 Januari sampai 1 Agustus 2020. Setelah dinyatakan sembuh, sebanyak satu dari lima peserta mengidap gangguan kejiwaan seperti demensia, kecemasan, dan insomnia.
Periode mengidap penyakit mental tersebut terjadi dalam kurun waktu 14 hingga 90 hari setelah dites positif. Dalam paparan studinya, para peneliti menyoroti bahwa orang yang pulih dari Covid-19 berisiko lebih tinggi mengalami gejala psikiatri.
Menurut salah satu penulis studi, Paul Harrison, diagnosis kejiwaan mungkin merupakan faktor risiko independen untuk Covid-19. Meski temuan pendahuluan itu memiliki implikasi untuk layanan klinis, studi kohort prospektif tetap diperlukan.
"Ada kekhawatiran bahwa orang yang selamat dari Covid-19 memiliki risiko lebih besar terhadap masalah kesehatan mental, dan temuan kami menunjukkan hal ini mungkin. Layanan kesehatan harus siap memberikan perawatan," ujarnya.
Harrison dan rekan-rekannya juga melaporkan temuan sebaliknya. Mereka yang telah didiagnosis dengan gangguan kejiwaan pada awal tahun menjelang pandemi, memiliki peningkatan risiko 65 persen tertular Covid-19.
Risiko tersebut tidak sepenuhnya tergantung pada faktor risiko kesehatan fisik yang diketahui sebagai pemicu Covid-19. Akan tetapi, para peneliti tidak dapat mengecualikan kemungkinan pembaur sisa oleh faktor sosial ekonomi.
Setelah menyoroti kemungkinan perbedaan dan batasan pada temuan mereka, tim periset berpendapat bahwa ukuran sampel yang besar menunjukkan ada korelasi antara Covid-19 dan penyakit mental. Temuan itu dianggap cukup valid terkait implikasi langsung.
Dengan peningkatan ukuran sampel Covid-19 dan waktu bertahan hidup, sangat memungkinkan untuk melengkapi temuan tersebut. Studi kohort prospektif dan daftar kasus inklusif akan sangat berharga guna melengkapi analisis catatan kesehatan elektronik.
"Ini juga penting untuk mengeksplorasi faktor risiko tambahan untuk tertular Covid-19, dan kemungkinan mengembangkan gangguan kejiwaan setelahnya, karena beberapa elemen terbukti dapat dimodifikasi," kata para peneliti, dikutip dari laman People, Kamis (12/11).