Selasa 03 Jun 2025 08:43 WIB

Stop Bikin Lucu Penderitaan Orang! Luka Mental Itu Nyata, Bukan Drama

Setiap komentar sembrono dapat memperburuk kondisi orang di titik rapuh.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Menjadikan penderitaan orang sebagai candaan (ilustrasi). Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental dinilai masih menjadi persoalan serius.
Foto: Foto : MgRol_92
Menjadikan penderitaan orang sebagai candaan (ilustrasi). Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental dinilai masih menjadi persoalan serius.

REPUBLIKA.CO.ID, KENDARI -- Peristiwa tragis yang melibatkan penderitaan mental seseorang seyogianya memicu empati dan kepedulian dari publik. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berkata lain. Respons yang muncul, terutama di ranah daring, dianggap kerap kali tidak mencerminkan empati, bahkan cenderung menjadikan penderitaan mental sebagai bahan canda atau olok-olok.

Fenomena ini dinilai bukan hanya menunjukkan kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental, tetapi juga menyoroti masalah empati kolektif yang semakin menipis di tengah masyarakat. Psikolog Klinis Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Kendari Astri Yunita menyebut rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental masih menjadi persoalan serius di tengah meningkatnya kasus krisis psikologis di berbagai daerah.

Baca Juga

“Luka mental itu nyata dan serius. Tapi banyak yang memperlakukannya seolah hanya drama belaka. Ini bukan bahan hiburan, apalagi untuk dijadikan gosip,” kata Astri Yunita pada Senin (2/6/2025).

Ia juga menjelaskan luka psikologis bisa jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik. Bahkan hal tersebut juga bisa mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan menjalani hidup.

“Kalau luka fisik bisa diobati dengan perban dan waktu, luka batin kadang terus membekas dan tak terlihat oleh mata,” ujar Astri.

Ia menekankan pentingnya membangun pemahaman bersama agar setiap tragedi yang menyangkut kesehatan mental tidak lagi disambut dengan cibiran atau penilaian sepihak. Menurutnya, setiap komentar sembrono dapat memperburuk kondisi orang-orang yang sedang berada di titik paling rapuh dalam hidupnya.

“Kita tidak pernah tahu seberapa dalam luka yang sedang mereka tanggung. Kadang mereka hanya ingin berhenti dari rasa sakit, bukan berhenti hidup,” kata Astri Yunita.

Ia mengajak masyarakat untuk mulai membentuk lingkungan sosial yang lebih peduli dan bebas dari stigma terhadap gangguan mental. Edukasi publik adalah langkah penting agar ruang-ruang sosial menjadi lebih aman bagi mereka yang sedang berjuang dalam diam.

“Ketika kita merespons dengan empati dan kepedulian, kita menciptakan harapan. Dan harapan itulah yang kadang menyelamatkan nyawa,” kata Astri.

Ia mengatakan dengan satu pesan penting, berhenti memperlakukan penderitaan batin sebagai bahan konsumsi ringan. Kesadaran bersama adalah langkah awal pencegahan dan itu dimulai dari cara kita memilih kata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement