Jumat 13 Nov 2020 00:56 WIB

Hindari Pneumonia, Jangan Cium Anak Saat Batuk Pilek

Curigai pneumonia kalau gejalanya berlanjut.

 Kenakan selalu masker dan cuci tangan saat akan menyentuh anak. Pastikan pula tidak mencium bayi dan balita saat sedang batuk pilek untuk menghindari kemungkinan paparan pneumonia.
Foto: AP/Andy Wong
Kenakan selalu masker dan cuci tangan saat akan menyentuh anak. Pastikan pula tidak mencium bayi dan balita saat sedang batuk pilek untuk menghindari kemungkinan paparan pneumonia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis anak, Prof Soedjatmiko melarang mencium bayi dan balita jika sedang pilek atau batuk. Larangan bertujuan menghindari bayi dan balita dari penyakit akibat bakteri, virus atau jamur termasuk pneumonia di masa pandemi Covid-19 saat ini.

"Bakteri, virus, jamur ada di mana-mana. Kalau ada keluarga yang batuk pilek, jangan mencium bayi dan balita," kata dia di sela peringatan Hari Pneumonia Dunia 2020 secara daring, Kamis (12/11).

Baca Juga

Selain itu, sebaiknya pakailah masker dan mencuci tangan sebelum menyentuh bayi dan balita serta segeralah berobat untuk memulihkan kondisi/

Soedjatmiko mengatakan, patogen penyebab pneumonia bisa masuk ke hidung, saluran napas anak dan merusak paru-parunya saat kekebalan tubuhnya yang rendah. Penyebab rendahnya kekebalan ini karena beberapa faktor antara lain asap rokok, debu di rumah yang kemudian merusak saluran napas, kurangnya anak mendapatkan asupan ASI eksklusif sehingga menyebabkannya kurang gizi.

Belum lagi jika si kecil lahir dengan berat badan rendah, tidak diimunisasi, menderita penyakit kronik dan terlambat berobat. Kondisi tersebut membuatnya berisiko kehilangan nyawa karena pneumonia.

Dari sisi gejala, Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr dr Nastiti Kaswandani, mengatakan pneumonia ditandai sejumlah gejala. Antara lain demam, batuk dan kehilangan nafsu makan, yang seringkali disalahartikan sebagai selesma dan flu.

Selain gejala itu, penderita juga bisa mengeluhkan sesak napas dan napasnya sangat cepat dari biasanya. Demam yang berlangsung pun bisa berlanjut 2-3 hari.

"Curigai pneumonia kalau gejalanya berlanjut, (yakni) demam 2-3 hari. Tanda penting lainnya anak terlihat napasnya lebih cepat dari biasanya, sesak napas," ujar Nastiti.

Dia menyarankan, ketika gejala seperti ini muncul, segeralah membawa penderita ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan dini dan menyelamatkan nyawanya. Dari sisi angka kasus, Indonesia termasuk negara dengan penurunan angka kasus pneumonia pada tahun 2019 yakni 153.00 kasus atau lebih rendah 25.000 kasus dibandingkan tahun 2007. Sementara pada balita jumlah kasusnya mencapai 314.000 atau turun 24.000 kasus sejak tahun 2007.

Kendati begitu, Soedjatmiko mencatat angka kematian yang cukup tinggi setiap tahunnya. Yakni sekitar 400-600 orang lalu melonjak hingga 1.750 orang pada tahun 2017.

"Bahkan pernah 2017 sekitar 1.750-an dan tahun 2020 mungkin sebagian karena Covud-19. Karena kejadian Covid-19 ini pada anak termasuk tinggi dibanding negara lain. Juni 2020, kematian Covid-19 pada anak terutama pada usia bayi dan balita, sebagian pneumonia pada bayi balita mungkin karena Covid-19," tutur dia.

Sementara itu, data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 mencatat, pneumonia menjadi penyebab kematian balita kedua di Indonesia setelah persalinan preterm dengan prevalensi 15.5 persen. Dari sisi penyebab, belum terpenuhinya ASI eksklusif yakni hanya 54 persen, berat badan lahir rendah (10,2 persen), dan belum imunisasi lengkap (42,1 persen), polusi udara di ruang tertutup dan kepadatan yang tinggi pada rumah tangga merupakan di antaranya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement