REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Depresi tampak memiliki keterkaitan yang erat dengan strok. Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi yang melibatkan lebih dari 24 ribu partisipan di Amerika Serikat. Para partisipan tersebut berasal dari orang kulit hitam dan putih, berusia 45 tahun ke atas, dan tidak memiliki riwayat strok.
Selama studi berlangsung, tim peneliti menilai tingkat depresi para partisipan dengan menggunakan empat item skala depresi. Selain depresi, tim peneliti juga menilai tingkat kesedihan hingga rasa kesepian pada para partisipan.
Dalam kurun waktu sembilan tahun, tim peneliti mendapati ada lebih dari 1.260 kasus strok yang terjadi di antara para partisipan. Dari beragam data yang dikumpulkan, tim peneliti mendapati bahwa partisipan dengan skor depresi 1 sampai 3 memiliki peningkatan risiko strok sebesar 39 persen. Sedangkan partisipan dengan skor depresi lebih dari empat memiliki risiko strok 54 persen lebih tinggi.
Angka ini didapatkan setelah tim peneliti mempertimbangkan faktor demografi. Studi terbaru ini juga tidak menemukan perbedaan risiko terkait ras. Temuan baru ini telah dimuat dalam jurnal Neurology: Clinical Practice.
Peneliti menilai saat ini sudah ada cukup banyak faktor risiko strok yang diketahui. Beberapa di antarnya adalah tekanan darah tinggi, diabetes, dan penyakit jantung.
"Tetapi kita mulai memahami bahwa ada faktor risiko non tradisional juga," jelas salah satu peneliti sekaligus profesor dari School of Public Health di University of Alabama di Brimingham, Virginia Howard, seperti dilansir WebMD.
Berdasarkan studi terbaru ini, salah satu faktor risiko non tradisional tersebut adalah memiliki gejala depresi. Semakin banyak gejala depresi yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pula risiko strok yang mungkin dimiliki.
"Faktor-faktor risiko non tradisional ini perlu masuk dalam pembicaraan mengenai pencegahan strok," papar Howard.