Resam dan Ancaman Lingkungan
Sementara itu, pemanfaatan gulma resam, dalam bahasa latin dicranopteris linearis, yang merupakan pakis hutan sebagai bahan baku utama pembuatan karya ini membawa pesan khusus yang hendak disampaikan ke masyarakat. Menurut Hendra, pemuliaan resam yang menjadi inti dari karya gigantik itu membawa pesan pengingat bahwa kondisi lingkungan sedang terancam.
Dua lokasi yang menjadi fokus karya Harmoni(S), yakni Desa Sukamaju dan kawasan penopang cagar budaya Candi Muaro Jambi, dia sebut sudah lama menghadapi ancaman lingkungan. Desa Sukamaju sendiri merupakan daerah penyuplai bahan baku resam dan perajin yang berkolaborasi.
Di Desa Sukamaju, masifnya perkebunan sawit membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Sementara itu, tidak jauh dari kawasan penopang cagar budaya Candi Muaro Jambi, ancaman tambang batu bara sudah lama meresahkan masyarakat, di samping adanya kepungan sawit pula.
“Ya, intinya itu, warning atas dampak perluasan infrastruktur. Ini (karya Harmoni(s)) juga bisa menjadi mitigasi dampak negatif infrastruktur pada ekosistem setempat,” kata kurator seni, Hendra.
Namun, di balik ancaman tersebut, kehadiran resam juga menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat. Jauh sebelum karya gigantik Harmoni(S) dibuat, resam sudah lama dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk berabagai macam kerajinan.
“Adanya kerajinan dari resam ini merupakan bentuk pemanfaatan sampah ekologis budidaya silvikultur. Bisa menjadi road map ekonomi kreatif berbasis gulma meski ironisnya juga menjadi tanda keragaman hayati ekosistem yang terganggu. Istilahnya, berkah misterius dari tragedi deforestasi,” jelas Hendra.